Gaza I
Di gaza
Semua berlari, berairmata
bertanya akankah gigil pagi
masih bisa mengeletarkan
tulang-tulang keluarganya
Sementara Tanya
jawab kemudian
sedetik dari tanya
sebuah peluru
berpusara di dada
segala terbaring bergelimpang
segala mencium tanah nan rata
hanya tubuh tegak
lelaki dari rumah jagal
yang bermata kesumba
menyeringai serigala
sesudah lapar dikenyangi
02/09
Gaza II
Di Gaza, meski
pita-pita hitam dari negeri jauh
tersulam menjadi satu bendera putih
tak mampu menghentikan jalannya
pawai dua ratus bendera kuning pertama
Gaza III
Yang tersisa dari
runtuhan peperangan
Hanya gerak lemah jemari anak perempuan
yang mengetuk bumi
Kahwa dan Cicak
Segelas kahwa manis jambu
dan bunyi cicak pengganti
detak jam yang rusak
Menautkan kawat dari masa depan
Hujan yang bermusim di mata kecil
gadis Mintuna kemarin senja
Sesar perlahan
Bermusim cahaya di pagi
yang paling Juni
Bergaris nol derajat lintang barat
kita saling bertanya lewat tatap
Bermatahari di belakang tubuh
kita berdua menjadi cium
segelas kahwa tabur
di kotak imaji
seekor cicak
bertepuk tangan
jatuh dan mati
02/09
Episode Laron Sang Pemburu
Bertahun namamu diburu lelaki berkelamin ungu yang
ingin kembali menjejakkan kakinya di tanah gambut,”akan
kujadikan kau bayang masturbasiku” solilokui ke enam puluh
dengan Revolver membidik kelamin.
Sebagai warisan kebencian lelaki itu, aku memburu
fosil namamu di setiap kubur bertabur mawar putih dan
bernisan ranting muda yang patah. Yang kudapat;
sepotong ati ayam ditelan musang bulan. Namamu
terbungkus daun sirih dan kain merah.
Angin berganti arah, dendam tiada lagi emmbuncah.
Saat pesta, cermin buram oleh embun malam.
Menenggak namamu yang kental dalam gelas kristal,
membawaku ke lautan yang tak habis ditenggak
sekawanan raksasa lapar.
Gelas tergeletak tiada berkerak. Tapi kerongkonganku
memanjang yang membuat aliran namamu kian jauh
dari penuhnya ceruk kepuasan seorang pemburu.
Dalam tidur ayam, kudengar namamu bernyanyi saat
luruh dalam gemuruh darah yang memusar di jantung.
Lantas menjulurkan lidah, menjilat moncong
senapanku. “yang kau dapat hanya banyang” gemerisik
dedaun sambil menasbih namamu.
Tangerang, Agustus 2005
Pembunuh Mencinta
Katamu puisi itu semesra
Hembusan angin mulut di daun telinga
Sebelum bercinta
Biar garam mendidihkan luka
Pun meledak air mata
Katamu lagi puisi itu membunuh pelan-pelan
Nyawa dilarang lekas melayang
Seperti ayam disembelih dengan silet berkarat
Biar ayat-ayat Tuhan jadi pakaian
Pun tawa bayi di pahang siang
Jika begitu,
Pinjamkan mata pena
Agar bisa aku mencacah kata-kata
Dan menidurkanmu dalam puisi ini
Tangerang, Oktober 2005
Doa Seusai Perang
Jika seusai perang
Bendera itu tetap mandeg
Di tengah tiang
Pintaku, lesatkan ruhku
Dengan sebelas tembakan ke udara
Agar cepat sampai padamu;
Kawan lama
Tangerang, Agustus 2005
Dua musim di sungai peranakan
Dua musim dua cerita di hulu sungai
Diantara mekar-kuncup si putri malu
Sekian lama alpa. Kecantikan Cai Sadana
Kembali mengambang di tengah arus tahun kuda
Bibir tipisnya bergincu merah jambu dengan
Pupur rata bedak cempaka di pipi
Teratai terapung di liuk tubuh sungai, mengundang dewa-dewa
Di tujuh penjuru angin dalam sebuah pesta. Peh Cun.
Killin bermain bola emas di ujung tiang
Irama rancak memadu gerak pencak
Sebilah pedang lentur berkilat
Membelai angin, mengasah mata para undangan
Pinggir sungai ditumbuhi umbul-umbul merah
Lampion merah menenggelamkan keruhnya sungai
Liong meliuk melilit wayang cokek
Gempal pinggulnya berlenggok menarik paksa berahi
Lelaki Benteng di pinggiran kota
Bergerombol, gabus berebut masuk bubu
Sepanjang istirah, tersuguh arak putih di meja arwah
Hormat langit, hormat bumi, hormat leluhur, hormat keluarga
Kole-kole dikayuh wareng jantan
Tantang lawan menabuh tambur
Semua berkokok merebut pita garis akhir
Sampai tersandung beduk asar
Satu musim hanyut sudah ke muara
Pelaminan ditinggal penganti masuk goa pertapa
Singa merah digantung di tembok
Naga hijau terlipat dalam peti
Teh Hian, Kromong menghuni museum purbakala
Terpercik luntur merah kain pesta
Satu musim lagi akan tertuang di botol-botol bir
Diiringi musik hidup dari wanita yang menyelipkan sebatang rokok di bibir.
Tangerang, April-Mei 2005
Puisi yang Meragu
:Inggit Putria Marga
aku memilih bunga hujan
karena itu obat tetes mata
sudah terlalu lama mataku
dirajam abu rokok
musang berparas sebatih
yang bercokol di bawah ketiakmu
aku meragu batu karena cinta badaimu
datang terlalu pagi. Sebelum hening selesai
aku menjauh dari sang penakluk
agar bunga yang pasti ada tak runtuh
untuk puisi yang meragu cinta dari sebilah hujan
yang menggedor pintu tengah malam
dan memaksaku menyalakan lampu
yang kumau – menjadilah pusaraku –
tangerang, Agustus 2005
Dari Lapar Menuju Syair
Pada tubuh halimunmu. Hantar.
Kamu jadi embun. Harap.
Jemari merimbun daun. Aku
Nafsu terbakar. Langu.
Bulan hidup. Sejak.
Bulan mati. Sampai.
Kujamah-jamah lapar
Kurindu-rindu syair
Laparmukah dalam laku syairku!?
Tangerang, Ramadhan 2005
Anak Peluru
Peluru yang tersemat di dada Ibu
Pecahan Mortir di kepala Bapak
Serpihan daging kakak
; kamu merindu perjamuan satu nisan
untuk Ibu, kau hadiahkan bunga api
dari korek yang kau sulut di depan tank baja
tangerang, Oktober 2005
Jakarta Sebuah Arena
Jakarta. Adalah ring tinju telapak tangan bulat terkepal
Memeprebutkan sabuk emas dari sebuah pertandingan
Yang tak pernah berakhir
Di sinilah kejantanan mata, telinga dan gerak gesit
Tangan dan kaki dipertaruhkan
Ditinju atau meninju!
Mata lebam, itu biasa
Kucuran darah. Itu lumrah.
Toh kita sudah terantuk gelas-gelas kaca
Yang dipakai bersulang para pemenang
Tangerang, Januari 2004
Ompol I
Lewat matanya, cinta datang tanpa permisi
Di kondominium hati yang baru dibangun
Di atas runtuhan bekas rumah tak berdenah di pinggir sungai
Bagai maling, ia mengendap-bersijingkat
Di ruang tamu yang baru tadi sore kusapu dari pecahan
Luka wanita yang merobek puisi sendok dan garpu
Cinta itu itu pakai cubluk, membawa ransel
Penuh jamu tolak angin dan popok bayi
Bermerk – Love undereksplosure –
Dan saat kupergoki, ia sudah dikamar mandi
Menjadi patung Selamat Datang Jakarta
Dan ia bergumam – aku siap menjadi ompolmu –
Tangerang, April 2005
Ompol II
Komuni pertama di bilik pastur
Berlanjut di bahuku, walau kau tahu
Aku bukanlah bejana
Pembaptisanmu
Mata kita berkaca, memang.
Mengharap tangan misterius Tuhan
Menyatukan arus massa dan listrik
Di alir takdir.
Sayang, sungguh.
Aku bermimpi buang air besar
Di sungai Cisadane
Tapi setidaknya
Terima kasih kau sudah menjadi ompolku
Tangerang, 2003
Betina Kopong
Ada yang lenyap dalam air teh;
Rasa bibirmu. Manis gula rendah kalori
Digerus perih bibir retak karena panas dalam
Ada yang sneyap dalam bibirmu;
Cantik itu. Lingkar cahaya lampu taman
Ditelan lolongan ajing liar.
Petang itu, gula luka tumpah saat waktu urung
Aduk dalam teh melati dan
Kau menato lukamu di bahuku.
- sosok lelaki bercinta dengan kepinding
di bawah kasur kapuk lain gubug –
termotif lewat ujung jarum
waktu yang gerimis,
menderas, mengurung tanganku
menukar sayapmu sewarna pucuk teh
yang kuyup oleh hujan
dengan baju tidur yang kuselipkan
batu mulia di sakunya.
Baik memang kujual saja bejana
Penampung bococran tangis betina
Yang kepalanya kopong.
Tangerang, September 2005
Lelaki Pemintal Benang
: Husnul Khuluqi
sesayup bisikan cinta dari sang kekasih
begitulah kamu lelaki pemintal benang
meneriaki kota yang karam di reruntuhan jam kerja
lewat corong puisi saat senja dibukukan para penyair
tapi,
sekeras jeritan orang dicambuk;
begitu juga kamu lelaki pembisik
membisiki mayat-mayat hati operator mesin bangun dari kubur
dengan puisi saat kepalan tangan meninju langit
kamu lelaki,
teruslah berbisik dan berteriak
tapi jangan lupa berteriak
karena kota ini akan padam
tanpa itu.
Tangerang, April 2005
Pelepah Pisang
: Rukmi Wisnu Wardhani
puisi betinamu sungguh buas
saat bulan tenggelam* kau kutuk
para pejantan menjadi banci tikus
yang bisa kau injak kemaluannya
tubuh penuh debu dari pertempuran perempuan Indian
yang tak menginginkan surga kiranya
menyebabkan lengkung alismu membujur kubur
saat cinta menggantung di awan dalam sebuah kondom
aku membaca sastra senja;
di putting hurufmu yang telah menghitam
sudah bukan air susu lagi yang keluar melainkan nanah
dari borok percintaanmu dengan lelaki pemegang borgol
yang selalu mengawasimu sampai ke toilet
jangan terlalu banyak bercinta dengan piranha
di sini masih ada lelaki gerimis yang siap memayungimu dengan
pelepah daun pisang kala derasnya hujan mendera antologi hidupmu
* judul puisi Rukmi WW
Tangerang, Agustus 2004
Si Botol dan Si Sepi
I. Botol Kecil berisi madu
Botol besar berisi candu
Dikocok sepi
Diteguk isi
Airnya tumpah
Botol tak pecah
Si botol tergeletak di atas pusar sepi
Tubuh wanita gemuk tengah baya
Usai dikulum mulut usia renta
Dan dihujamkan ke goa di tepi pantai
Purba, ladang garam kehidupan
II. acapkali si botol tertegun di depan cermin
menatap label cinta yang melingkari tubuhnya
berupa garis-garis putus tak berujung
atau wajah mamak yang terbuang beserta krop
hidupnya ketika diisi pertama kali oleh candu kota
“Ya, ya, ya. Botol becil berisi madu
botol besar berisi candu. Akh mamak.”
Gerutu memanggil rindu.
III. Lubang sepi adalah jawaban teka-teki si botol
Akan kuis kekosongan kantong di metropolitan
Kedatangan sepi melancarkan sendawa dunia si botol
Kualitas isi si botol mengobati penyakit gatal si sepi
“Kocoklah sepiku,
akan kureguk isi kantongku.”
Desah membuat basah.
IV. Keluar pintu pagi, si botol menyapa awan
Dengan benang kusut dari rajutan tubuh si lubang sepi
“Akh, biar air tumpah,
botol tak pecah!”
Teriak penuh kerak.
Kemudian ia meneguk kopi hitam
Tanpa pernah tahu ada kucing hitam
Menjulurkan lidah meminta bagian
Botol kecil berisi madu
Botol besar berisi candu
Dikocok sepi
Diteguk isi
Airnya tumpah
Botol tak pecah
Tapi,
Kucing hitam
Tak mau diam
Tangerang, Desember 2004
ATM
Ayu Tapi Mambu
: AYU Utami
Dinar RahAYU
Djenar Maesa AYU
I.
Seorang gadis muda bertanya pada
Seekor bandot tua di tengah kota
Tentang siapa pria!?
Bandot tua tak menjawab hanya
Menunggingkan pantatnya
Gadis muda menyimpulkan pria adalah
Binatang besar, bodoh dan tak bertulang belakang*
II.
Ada monyet bermain SMS
Menawarkan KY Jeli ke toko-toko buku
Tanpa malu ia peragakan cara pemakaian
Di tubuh Ibunya yang lugu
Sambil tersipu Ibunya bilang
“Anakku memang monyet!”
III.
Bagi Jonggi bedanya kimia dengan sastra
Adalah dari gaya rambut
Kimia bergaya rambut belah samping
Sastra bergaya rambut belah tengah
Dan ia suka sastra rambut belah tengah
Tiga dara memagut paksa benang merah dari rahim fiksi
Maka berdarahlah selaput bunda sastra
Yang menjadikan pintalan mereka
Tak mampu menyelimuti bumi
Mereka semua ayu
Tapi Mambu.
Tangerang, Jan-Feb 2004
Firdaus Oil untuk Tuan Bush
Tuan Bush nonton TV
Di TV ada iklan
Iklan minyak kumis
Minyak kumis seribu satu malam
Satu malam tuan Bush diejek istri
Istri ingin tuan Bush berkumis
Berkumis tipis pertanda jantan
Kejantanan tuan Bush diludahi
Minyak kumispun dibeli satu
Satu olesan menjelang pagi
Paginya tuan Bush sudah berkumis tipis
Kumis tipis tak cukup untuk tuan Bush
Tuan Bush beli dua
Dua tak cukup tuan Bush beli lima
Lima tak puas tuan Bush beli semua
Semua dibeli sampai pabriknya
Tuan Bush bersenang hati
Hati istrinya ingin dikejutkan
Terkejut istrina setengah mati
Setengah mati istrinya tak mengenali wajah tuan Bush
Tuan Bush melihat dirinya ke cermin
Cermin berkata sebenarnya
Sebenarnya wajah tuan Bush ditutupi kumis
Kumis seribu satu malam
Satu malam tuan Bush tertawa nonton TV
Di TV ada berita
Berita pabrik minyak kumis yang terbakar
Tangerang, April 2003
Bapak Amuk
Ibu yang paling mawar*
“Ayo nak, berteriaklah
kalahkan gemuruh kota ini dengan suaramu!”
begitulah bapak mengajarkanku
menginjak tanah menatap cakrawala
tidak ada kata interupsi di rumah ini
tulangku didaur ulang menjadi besi
dagingku digiling menjadi bubur baja
kulitku disasapi sinaran matahari
“Ayo nak, kita tanami bunga
tanah sisa di antara rangka baja kota ini.”
begitu ibu mengajakku menyalami pagi
sehabis bertengkar dengan bapak tadi malam
dia, yang paling mawar*
menyelam palung kehidupan pewaris kedalaman jiwa
dengan jari telunjuk menunjuk
negeri padi di seberang industri
pada akhirnya aku harus bersendiri
seratus hari dari bapak amuk
seratus tombak dari ibu yang paling mawar
dan menjadikan rangka baja sebagai orang tua angkatku
*kutipan puisi Solitude; SCB
Tangerang, September 2004
Bantal si Urban
“Siang sudah bolong, hentikan percintaanmu dengan bantal!”
teriak Ibu sambil menjewer kupingnya.
Tapi bagaimana ia hentikan semua ini sementara
Kota ini dirancang dan dibangun di atas bantal.
“Aku ingin punya bantal bulu angsa bu, jadi biarkan aku bercinta.”
Ibunya terdiam, lantas menangis dan kembali menceritakan
Tentang bapak yang terbunuh gara-gara memburu sebuah bantal
Peninggalan kakek yang dicuri orang.
“Jangan kau mencari bantal bulu angsa, ini bukan musim kawinnya.”
Elusan tangan dirambutnya tidaklah menyurutkan gelombang pasang
Cintanya. Melamar kota ini dengan angsa petelur emas dari istana awan
Adalah janjinya. Janji seorang pejuang bantal.
Orang-orang kota membawa bantal di atas kepala, ada yang kejatuhan bulan adapula merpati yang hinggap di bantal kepala mereka dan mematukinya. Ada bantal dari busa, kapas dan bulu angsa yang ia cari. Sementara dirinya membawa bantal kapuk randu.
Dalam kota ia dapatkan realitas dan melankolis. Bantaran sungai, jajaran rumah kardus di samping rel kereta menjadi tempat pembuangan akhir dari bantal apek kaum urban, yang sering kali menyeret bantal penghuninya jauh ke pedalaman.
Dalam hujan ia cari tetes air yang membawa kabar letak tangga negeri awan, perahu kertaspun dihanyutkan ke cemarnya sungai.
Seribu burung kertas ia terbangkan ke keluasan cakrawala, yang berhias cerobong asap, memaksa dirinya menjadi budak gurita dalam samudera peluh.
Ritual panjang mengelilingi unggun kota, tak pernah memberinya ekstase kaum priyayi, hanyalah sembab mata kaum darwis tercap dalam hidupnya.
Kemudia ia bertemu lelaki gerimis yang kerjanya mengguyur kubur.
“ Atas apa kau datang kesini?”
lelaki muda berjubah merah muda mempersilahkannya tidur terlentang menghadap kiblat.
“Bantal.”
Sambil memegang erat bantal kusutnya, ia merasa lelah. Dingin. Matanya sudahlah lima watt.
“Apa yang kau? Sudah kau dapatkan?”
lelaki itu memandikan tubuh ia. Pepat daki. Mampat jerawat.
“Bantal. Tiada bantal seenak bantal sendiri.”
Terpejam. Ia memerdekakan diri.
Lelaki itu menaruh bantal kapuk randu dikepala ia, menyangga tangga negeri awan dalam kepala yang telah memisahkan Ibu darinya. Kemudian ia menutup tubuh ia dengan jaket tanah.
Dalam tidurnya, Tuhan sedang memeluk bantal kapuk randu di atas ranjangnya.
Tangerang, Juli 2004
Mandi Kota
Aku dengar rambutmu sudah
tersentuh tangan lelaki yang mandi di kota.
Bulan sudah tidak lagi menetap di rahimmu.
Minggat ke kota enam bulan lalu
menemui perempuan yang pergi meninggalkan ranjang.
Sementara aku
masih memerankan si idiot di atas panggung dalam
lakon jas hujan di musim panas, di kepalaku tumbuh
janin dari perselingkuhan dengan masa depan.
Ya! Jarum jam memang tak bisa menunggu.
Rahimmu sudah mendidih guna
merebus singkong di malam musim penghujan.
Demi masa.
Akan kutaklukan kota yang
menghadirkan lelaki di tubuhmu.
Tangerang September 2004.
Ruh Merindu
: Lela
Karena kamu,
Adalah ruh yang gentayangan
Dibias lampu merkuri jalan dan meja kantor
Adalah ruh yang gentayangan
Mencari penawar untuk kembali ke surga
Maka kamu,
Adalah ruh yang merindu
Pematang sawah di senja hari
Adalah ruh yang merindu
Kicau burung pipit dan kelinci putih
Yang menemani saat minum teh poci
Datangilah malam yang membuatmu terlelap tidur
Dalam gerak lembut bintang membelai rambut
Dan temuilah ari-ari yang kau campakkan di bawah damar
Semenjak kau menghitung umur.
Tangerang, 2003
Dentum
Ost kuningan 9/9
Di kuningan keheningan retak dan pecah
Alarm weker berdentum keras
Kucing hitam mengamuk memporakporandakan seisi rumah
Adik menangisi boneka kesayangan tinggal telinga
Ibu menjerit vas bunga berserakan dalam kubur
Bapak amuk dendam di bawah perut
Saudara melayat di balik layar TV
- Matikan weker
karungi kucing hitam
agar tak ada cerita horor di hari libur –
katamu; amarah menghajar angin
Di luar kuningan
Ratusan weker siap membangunkan kucing hitam
I Love Friday
Begitu indahnya jum’at. Deru mesin penghisap debu
ditelingaku seperti musik dangdut yang mengairahkan
kembali otot dan otakku, setelah lama dipenjara
rutinitas sembilan jam sehari, empat puluh jam seminggu.
Begitu lengkingan sirine tanda pulang menyeruak ruang dalam sekat kepalaku
Aku teringat kepadamu akan janjiku untuk menemanimu
dalam malam di sebuah bioskop yang memutar film – French Kiss –
yang ingin sekali aku menjadi aktor utama di dalamnya.
Memburu waktu, aku pakai kembali jiwa seorang tahanan keluar dari bui.
Kususun kembali rencana penjajahanku akan bibirmu yang penuh rempah-rempah cinta, dibalik benteng sehelai jilbab yang belum bisa aku taklukan dalam
hitungan tiga bulan ini.
Aku cinta Jum’at.
Inilah denahku – setelah membuka pintu maghrib di sabtu pink – aku keluar kamar menjadi seekor kelinci putih yang imut – meloncat di tiga pekarangan tetangga dengan pelan – setelah sampai di pintu kontrakanmu dan kau keluar – kuberi kau setangkai bunga Bank dan aku berkata “Ayo kita mandi” – kau pun setuju – kita berdua pergi ke bulan.
I Love Friday.
Meskipun aku harus gigit kantung baju seragam kerjaku.
Tangerang, Agustus 2004
R.U.P
(Rahasia Umum Pekerja)
di areal toilet, papan peringatan
- NO SMOKING, NO NAKED LIGHT -
hanya berlaku di papannya saja
ketika pintu toilet di tutup, hanya ada aku
puntung rokok sisa tadi pagi dan
burung kutilang yang sedang berlatih orasi
guna unjuk rasa malam nanti
Tangerang juli 2004
Cintamu Reject
Istirahkan cinta sayang, dari rutinitas kerja sembilan jam sehari
karena aku tak bisa terus mencetaknya dengan mould yang sudah kadarluarsa. Targetku adalah kualitas bukan kuantitas yang telah membungkam
keinginanku untuk bersendiri.
Kakiku terlalu lelah berdiri dan tangaku pegal
selalu kau suruh menghaluskan cinta yang kasar dengan air pengorbanan dan
pisau kejantanan yang karatan, sedang kau mengongkang kaki di depan tebal dan rumus mencari laba.
Tahukah kau sayang, selama ini aku menerima keluhan dari
konsumen di luar sana tentang mutu cinta yang kau berikan kepadaku.
Mereka bilang ; Cintamu Reject!
Tangerang, Juli 2004
Children Of Heaven*
Anak-anak surga
Anak lelaki dengan selusin mendung seberkas sinar di atas aspal
berlari mengejar sepasang sepatu
buat adik perempuannya yang bertelanjang kaki
pergi ke sekolah
Surga memberinya hadiah;
Ikan mas di kolam yang memaguti luka
di kakinya
Tangerang, Februari 2004
CINTA, CINTA DAN CINTA
Jika kau jatuh cinta;
SIAPKAN KOPER DAN ISINYA
Jika kau kasmaran;
MINUMLAH JAMU TOLAK ANGIN
Jika kau putus cinta;
BERAKLAH!
Tangerang, Maret 2004
Pelayat Matahati
Kembali kau melayat
aku dipekuburan waktu
Dengan isak rindu di samping
nisan kenangan kita yang kusam
Sucikah airmatamu
Hingga bisa membangkitkan
tubuhku dari masa lalu
Yang telah menyayat kejantananku!?
Atau bersihkah lidahmu
yang merapal azimat perindu
sebagai 250 hari
pada hati yang dikafani?
Aku kira kita sudah sepakat
Menjadikan cinta sebagai mayat
Tangerang, Januari 2004
Kerikil Yang Menggelombangkan Bayang
Jatuhan kerikil ke dalam air
Menggelombangkan bayang sekujur tubuhmu
Yangs edang bermain dengan ikan dan belut
Di antara batu dan rumput
Mataku terpicing
Saat buti-butir air menampar
Pori-pori kulit wajah yang
Tadi memandangmu tuk sejenak
Bersama tetesan hujan bulan maret
Yang tersaring zat hijau daun kamboja
Biasan cahaya datang membawa pesan Ibu alam
- pergilah ke arah Barat! -
Tangerang, Maret 2003
Kado Buat Pemimpin
Aku kirmkan
Tulang lengan kananku
Yang kugores lurus dengan belati
Kepadamu
Tangerang 2002
Rahasia Malam Lebaran*
Kuburan siapa terlihat di bulan
Waktu malam lebaran
Hanyalah maqam orang asing di surga
Yang memaknai bulan sebelum
Tangerang, Maret 2003
*Judul Puisi Sitor Situmorang
Rajahku
: SCB
manteramu taring kucing
manteraku telinga kelinci
bersimbah keringat di atas panggung
imajimu daging dihantam kapak
imajiku kapak menghantam cermin
segala rasa segala cara
segala ada mula dari tak ada
mengapa tak kudapat kucing
dalam sangkar yang menggantung
dari manteramu
ini rajahku
segala kembali pada mula membaca
Tangerang Februari 2004
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “puisi”
Posting Komentar