Kamis, 08 Januari 2009

essai teater boneka

Menafsir Angin dan Bebegig
Oleh Lee Birkin*)

Sekelompok angin menghembuskan dirinya. Melewati gedung pencakar langit, melewati pasar, melewati kolong rok perempuan cantik, melewati galian kabel, melewati rumah mewah dan akhirnya menjadi amuk atas laku manusia picik.

Nikmatnya buang angin
Dalam cerpennya yang berjudul Angin Jalan-jalan (AJJ), Aam Amalia mengajak pembaca mengenal ragam karakter manusia. Cerpen AJJ dibangun dengan diksi yang sederhana dan alur cerita yang mengalir, sehingga pembaca dengan mudah bisa menghirup saripatinya. Adalah angin kecil, angin besar, angin penyakit, angin puyuh dan angin topan yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini. Dengan menempatkan penulis sebagai orang ketiga tunggal, Angin-angin itu dijadikan penjelas perantara akan tema utama dalam cerpen ini, yakni laku manusia.
Lewat peristiwa yang terkadang menggelitik, cerita menggelinding dari sudut pandang yang berbeda dalam menilai manusia. Juga lewat hal-hal yang sering dianggap remeh temeh, AJJ memberikan penyadaran akan relasi antara penguasa, rakyat dan alam. Tengok saja, kala angin berhembus di sekitar, tiap manusia berbeda meresponnya. Saat angin berhembus sepoi mengelus kulit para kuli yang tengah melepas lelah, mereka mensyukurinya dengan berkata //terima kasih Tuhan, angin ini enak sekali//. Coba bandingkan dengan penerimaan atas angin oleh orang kaya dengan berkata //Mam, tolong tutup jendelanya, siang bolong begini kok dingin sekali ya//.
Atas dasar angin (udara) sebagai satu elemen dasar di bumi ini, angin acapkali menjadi bagian dari mitos yang berkembang di masyarakat. Di Cina misalnya dalam legenda Avatar, penguasa anginlah yang selalu dinasbihkan menjadi Avatar. Suku Inca memiliki Huracan selaku dewa angin dan badai, begitupula kebudayaan Yunani kuno yang mengenal adanya empat dewa angin (anak dari Eos dan Astreus) yang memungkinkan adanya perubahan musim.
Manusia tidak bisa hidup tanpa udara, itu gampang kita terima. Tetapi seringkali penerimaan dan perlakuan manusia atas udara yang dihirup, berbalas tikaman belati di punggung; tanpa pikir panjang kita mengeruhkan udara lewat polusi dan berujung pemanasan global.
Hanya lewat peristiwa-peristiwa kecilah, Tuhan memberikan penyadaran hidup kepada hambanya. Saat manusia didera susah buang angin, betapa manusia itu berikhtiar sampai rumah sakit termahal untuk menyembuhkannya. Di dalam kesusahan itu, biasanya kesadaran manusia tumbuh atas segala karuniaNya.
Bebegig di ujung jurang
Sepatutnyalah kita menempatkan bebegig memiliki fungsi positif, sebagai pengusir hama. Hanya saja kini konotasi bebegig mengalami rekonstruksi imaji ke arah negatif; menjadi hama itu sendiri. Saat ini bebegig menjadi imaji bagi orang yang berotak kopong, tapi berambisi besar ingin memiliki kedudukan atau menjadi penguasa. Kekuatannya dipakai untuk menakuti orang yang dianggap hama bagi tujuan politiknya. Sebuah ironic friction of social value!!!
Hal di atas kian diperparah dengan belum tuntasnya permasalahan sosial dan ekonomi petani. Sawah-sawah digantikan pabrik, harga pupuk yang mahal, harga jual yang rendah, keengganan anak cucu mengolah sawah sampai rendahnya minat generasi muda untuk menjadi ahli pertanian.
Nilai filosofis yang tertanam pada padi berisi kian merunduk dan bebegig sang pengawal Dewi Sri telah dipersetankan oleh gaya hidup dan status sosial. Semua berlomba memperkaya diri di luar sawah, seolah-olah mereka sudah tidak perlu lagi makan nasi. Semua telah menjadi tikus berkostum bebegig!
Musyawarah Bebegig dan Angin.
Pementasan teater oleh Lab Diksatrasia Untirta yang memunculkan ikon bebegig sebagai tubuh pencerita telah merangsang saya membuat catatan ini. Secara teknis, menyangkut dramaturgi minus konsep panggung, saya hanya bisa berkata bahwa saya lebih nyaman duduk menonton pada saat pementasan mahasiswa semester VII B.
Pertemuan bebegig dan angin di ladang(?) itu seperti ingin menyatakan bahwa kreatifitas bisa dihadirkan lewat beragam imaji, suatu keabsahan kebebasan berpikir. Daya juang hidup berkesenian tidak harus satu warna saja.
Pemilihan imaji bebegig dalam lakon berdurasi lebih kurang 40 menit itu menimbulkan segudang pertanyaan yang melahirkan pernyataan. Dunia buruh dan tani merupakan dunia ‘keras’, tertaut kaum tani dan buruh sudah menjadi simbol kaum perlawanan. Tentunya peristiwa geger Cilegon bisa dijadikan contoh, atau PKI dengan Lekranya.
Kehadiran bebegig dalam pentas itu akan menggigit, apabila bebegig berbicara menyuarakan persoalan tanah, tani. Lebih menggigit lagi jika bebegig itu tidak dijadikan etalase untuk mengejar estetika saja. Ia hadir utuh untuk berbicara dan membicarakan dunianya. Memperkuat simbol perlawanan.
Pendapat bahwa “Bebegig ditransformasi menjadi sekelompok orang yang diposisikan dan memosisikan diri sebagai instrumen efektif untuk menghalau segala hal yang dianggap sebagai ‘hama’,” membuat saya miris, betapa tidak, pendapat itu telah menempatkan bebegig yang tadinya sebagai simbol perjuangan rakyat menjadi bernilai negatif seperti yang saya ungkapkan di atas.
Setiap individu berhak untuk memberi nilai (value) atas simbol-simbol yang ada, tetapi di luar itu ada konvensi bersama di masyarakat, atas makna simbol-simbol tertentu yang mau tidak mau dijadikan milik kita juga. Pertanyaanya, apakah kita yang mengikuti masyarakat, atau masyarakat yang mengikuti kita? Viva le Actuer.


*)Penulis, pekerja teater

Followers