Minggu, 01 Maret 2009

Cerpen NUNOLO


NUNOLO; LAKU SI TOLOL
Oleh Bayan Sentanu

“Masih sanggup?” Tanya Uwo sesaat setelah melihat Adi menghela napas panjang dengan wajah meringis. Adi hanya mengangkat tangannya sedada, Uwo mengerti dengan gestur itu, lantas ia pergi ke meja di depan mereka. Ia menjumput sebotol air mineral dan memberikannya ke Adi.
Uwo mengajak Adi duduk di gawir panggung. Setelah membuka tutupnya, Adi menenggak air itu sampai habis setengah botol. Uwo memerhatikan kelelahan yang nampak di wajah kawannya itu, ia melihat jam tangannya yang digeletakkan di samping tas kecilnya, jarum jam sudah menunjuk angka 12.23. Uwo membuang pandangannya ke luar jendela. Tiba-tiba ia tertawa sesaat sesudahnya.
“Kenapa?” Adi merasa heran dengan kelakuan Uwo.
“Tidak. Aku hanya ingat Gogo dan Didi ” Uwo menjawabnya sambil mesam-mesem.
“Ada apa dengan mereka?”
“Mereka itu tolol sekali ya. Menantikan dan melakukan sesuatu yang tidak jelas. Seperti….” Uwo terdiam, dilanjutkan dengan telunjuknya mengarah bergantian ke mereka berdua. Adi menyambutnya dengan tersenyum, begitu pun Uwo, melanjutkan tawanya. Suara mereka menggema di ruang pentas itu.
Selama satu menit, mereka berdua tenggelam dalam gelak tawa. Bagi mereka, lakon Menunggu Godot yang pernah dipentaskan, telah memberi kesadaran tentang pilihan hidup menjadi aktor panggung. Sebuah pilihan yang tak masuk akal sebenarnya. Setidaknya di mata masyarakat pada umumnya. Pernah sekali dalam sebuah workshop teater, waktu itu Adi sebagai pembicara ditanya soal pilihannya di dunia panggung. Adi hanya menjawab – teater telah menjadi napas – sebuah jawaban yang membuat penanya semakin bingung.
Uwo mengambil handuk kecil coklat di tas dan menyampirkan ke bahunya
“Sebentar ya, aku mau ke toilet dulu”
Adi hanya mengangguk. Uwo menuju pintu yang ada di sebelah kiri panggung. Adi kembali menenggak air dalam botol, untuk kemudian, pandangannya disapukan ke seluruh bagian gedung pertunjukan. Tiba-tiba ia merasa asing dengan gedung teater milik kelompoknya itu.
Tirai panggung, rangka besi penahan lampu sorot, ruang peƱata lampu, tempat duduk penonton bahkan panggung yang sedang Adi duduki, dirasakan begitu ganjil malam itu. ia merasakan hawa dingin mulai merambat ke tubuhnya. Apa yang dirasanya, mendadak mengingatkannya pada Vasili, tokoh aktor tua dalam lakon Nyanyian Angsa.
“Inikah yang sebenarnya kau rasakan Vasili? Kesenyapan dan kegetiran hidup di atas panggung di akhir hidupmu?” batin Adi menyeruak gumaman kecil.
”Kini kita sama-sama tua” dilanjutkan dengan senyum miris.
Mendadak, Adi berdiri. Diambil dan diseretnya sebuah kursi yang ada di wing kanan ke tengah panggung. Setelahnya ia menuju ruang lampu, dan menyetel satu lampu yang menyoroti bagian tengah panggung. Selebihnya lampu lain dimatikan.
Ia pun memulainya. Dengan hanya mengenakan kaus putih oblong dan celana pangsi hitam, ia keluar dari kegelapan menuju bagian tercahayai. Rambut panjang penuh uban yang kusut dan wajah pasinya, kian menyempurnakan kegetiran hidup yang sama antara Vasili si tokoh dan Adi sebagai aktor.
Dengan berlagak mabuk, ia memanggil Yeghorka dan Petruskha beberapa kali, tapi tidak ada jawaban dari ruang manapun. Hanya gema yang menyahut dan hawa dingin menusuk tulangnya yang tua.
“Apa yang kau katakan pada saat seperti ini Vasili? Oh ya, kau berkata; angin yang berhembus di gedung teater ini seperti keluar dari terowongan batu…eh…iya, ini tempat hantu…”
Kalimat demi kalimat meluncur terpatah-patah. Pasalnya, Adi mengucapkan dialog Vasili seingatnya. Terlebih pada dialog-dialog panjang. Meski begitu, ingatan Adi cukup bagus tentang alur cerita Anton Chekov itu.
Pada saat masuk dialog Nikita*) si tokoh pembisik, Adi berlaku seolah-olah ia sedang berhadapan langsung dengan Nikita.
- Ah, Nikita!? Cobalah pikir, mereka menyeruku 16 kali. Mereka memberiku tiga bungkus bunga dan banyak lagi benda-benda yang lain. Antusias mereka sudah melonjak-lonjak….eh… Namun tiada sebuah hatipun datang setelah pementasan selesai, untuk membangunkan orang tua yang malang ini dan membawanya pulang ke rumah. Dan aku, akulah…orang tua itu Nikita! Usiaku telah 68, sakit-sakitan lagi dan aku tak punya harapan lagi untuk hidup- Adi terduduk dan tersandar lemah di kursi kayu itu sambil menangis.
Tanpa disadari, tingkah laku Adi tengah diperhatikan oleh Uwo di pintu kiri panggung, diselimuti tirai hitam, Uwo menyembunyikan diri. Ia tidak ingin mengganggu ekstase yang sedang dialami kawannya itu. Uwo menyadari betul bahwa dialog Vasili yang diucapkan Adi tadi, sebenarnya adalah ungkapan kegelisahan Adi yang paling dalam. Kemiripan jalan hidup Adi dengan Vasili, dirasa Uwo bukan hanya perkara kebetulan, melainkan seperti sebuah peranan yang harus dilalui Adi dalam kehidupan nyata.
Di panggung, Adi mencoba bangkit dan melanjutkan peranannya. Tiba-tiba ia menghentakkan kakinya dan menyuruh Nikita mengambil peran Si Tolol . Dalam bayangannya, Nikita sedang merapal doa dan menyipratkan air suci. Adi bertolak pinggang dan melontarkan potongan dialog Hamlet
- Oh, para pencatat, biarkan aku sendiri! kembalilah kalian! Mengapa kalian bermaksud mencari bauku! Sehingga kalian masuk dalam jebakan!-
Detik itu juga ia tertawa. Ia merasa semakin bergairah, hingga pada satu bagian karena terbawa emosi, ia mengucapkan dialog dengan lantang sambil berdiri di atas kursi.
-Tetapi betapa jeniusnya aku. Aku tidak bisa membayangkan kemampuanku. Betapa fasih, bagaimana menariknya aku, betapa peka dan betapa hebatnya tali senar menggetar di dalam dada ini. Sungguh berdebar perasaanku memikirkannya! Dengarlah sekarang! Tunggu, biar aku tarik napas dulu. Ya, sekarang dengarkanlah ini: berlindung darah Ivan…-
Dialog itu tak terselesaikan. Adi memegang dadanya. Ia batuk keras dan panjang sekali. Ia terduduk di kursi, wajahnya memerah, otot-otot perutnya menegang yang menyebabkan perutnya juga sakit. Ia meraih botol air berisi tinggal seperempat di gawir panggung dan segera meminumnya hingga ludes.
Dengan maksud mengurangi deraan batuk itu, Adi terlentang dilantai sambil tatapannya mengarah ke atas. Ia mengatur napasnya. Sesaat ia merasa tenang untuk kemudian batuk itu menerjang kembali.
Di puncak kesakitannya, ia seperti orang sujud dengan tangan memegangi perut, wajahnya kian merah padam dengan urat-uratnya yang menonjol. Dalam beberapa kali batuk, cairan merah keluar dari mulutnya.
Sambil terus mendengarkan suara batuk, Uwo tetap bersembunyi dibalik tirai. Ia berpikir bahwa akting Adi malam ini sungguh luar biasa.
“Betul-betul Realis!” batin Uwo.
Satu menit berikutnya, keadaan menjadi hening. Uwo merasa janggal dan tiba-tiba ia teringat sesuatu
“Kok, ada adegan batuk?”
Menyadari sesuatu terjadi, ia bergegas masuk panggung dan betapa terkejutnya ia. Dilihatnya Adi sudah terkapar dengan darah di mulut. Ia menampar pelan pipi Adi, namun tidak ada respon, lantas ia menempelkan telunjuknya ke hidung Adi, tidak ada napas yang keluar. Uwo mulai gusar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada orang yang membantunya, namun sia-sia.
Untuk meyakinkan dirinya, Uwo menempelkan telinganya ke dada Adi. Terdengar degup jantung, lemah sekali.



Penulis anggota Komunitas Sastra Indonesia dan Teater AnonimuS

Followers