Senin, 27 Oktober 2008

cerpen Elf dan Penyeduh Teh Melati

Elf dan Penyeduh Teh Melati
Bayan Sentanu

Di meja, ia menyodorkan bintang-bintang dalam hamparan kartu tarot terbalik. Dimintanya Adin memilih satu. Adin menyusuri baris kartu itu dengan telunjuk dan terhenti di kartu kedua sebelah kiri. Cukup lama telunjuknya menempel di kartu itu, entah kenapa dia bisa tertegun selama beberapa menit sampai Elf menepuk bahu dan memintanya tenang. Apa maksud Elf berkata seperti itu, Adin sama sekali tak mengerti.
Saat kartu itu dibuka tampak gambar seorang lelaki berdiri di atas bukit curam dengan mata menatap ke awan. ‘ The Fool’ tulisan di kartu itu.
Elf menatap Adin sangat tajam dengan senyum Monalisa di bibirnya. Kemudian ia kocok dan hamparkan lagi kartu itu, memintanya untuk memilih kembali. Kali ini telunjuk Adin mengarah ke tengah. Tapi hasilnya tetap sama; kartu itu juga. Mereka saling tatap, Elf mengacungkan jari telunjuknya ke atas, tanda kocokan diulang satu kali lagi.
Kocokan ketiga hasilnyapun tetap sama. Tetap si bodoh.
***
“Mas, bagaimana jika aku adalah bintang itu?”. Suara Tami terdengar lirih sambil menunjuk titik-titik cahaya di angkasa dengan telunjuknya.
“Memangnya kenapa?” Tanya Adin seraya menatap mata Tami yang teduh bagai oase di gurun pasir.
“Entahlah mas, belakangan ini aku merasa diliputi perasaan sepi dan dingin” Mendengar itu, entah kenapa hati Adin terasa getir dan membuat bulu kuduknya meremang.
Adin tak menanggapi ucapan itu. Tapi jelas ada tekanan dalam suara Tami. Dan biasanya jika Tami sudah bersikap aneh, Adin memilih tidak meladeninya.
Di langit, empat titik cahaya bintang membentuk layang-layang; bintang pari atau bintang utara kata orang-orang. Penunjuk arah bagi pelaut atau musafir di keluasan gurun sunyi yang penuh fatamorgana.
Tami beranjak masuk rumah lebih dulu. Meninggalkan Adin di kursi malas itu. Meninggalkan bintang dan kesunyian bagi mata dan hatinya.
Percakapan malam itu adalah hari ke 21 di bulan awal Adin menangisi dunia ini. Apa yang mereka bicarakan malam itu telah mengubah sudut pandang mereka sendiri dalam melangkah. Tami menganggap dirinya adalah batu. Hingga dia mengisi hari-hari berikutnya dengan kebisuan, mengurung diri di kamar, tiap hari ia menatap lekat matahari yang tenggelam lewat jendela kamar.
Sedang Adin memandang dirinya adalah arus bawah sungai, yang arusnya lebih deras dari permukaannya. Dan sebagai sungai dia berusaha mengikuti lekuk apapun yang bias mengantarkannya ke samudera. Termasuk lekuk batu itu.
Dalam kamar, menjelang kuning siang jadi rona jingga ia masih di sana;; di bibir jendela. Dan Adin tertegun di pinggir ranjang. Garis waktu yan terbentang di antara mereka diisi dengan keheningan. Mencoba menelisik jauh dalam kegundahan hati batu alam itu.
Adin mendekati dan memeluknya dari belakang. Dia tiup belakang daun telinga Tami dengan pelan, diciuminya leher lenjang yang selama ini telah memabukkannya dalam tiap tegukannya, tapi Tami bergeming.
Perlahan, dia lerai dekapan.
“Sampai kapann kau akan menjadi batu? Sampai tubuhku dipenuhi belatung?” terdiam sejenak, menatap lukisan bunga lotus merah di samping pintu kamar.”Aku kira kau sengaja menguji kesabaranku. Kalau begitu mintalah sama matahari. Atau kau sudah jenuh menjadi titik tuju alir sungai ini?” perlahan, riak emosi Adin menuju gelombang.
Masih bergeming, pipi Tami dirembesi air asin yang bergulir dari matanya yang bening. Adin menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Hening dalam detik-detik berlalu kencang meninggalkan kata-kata dia pada tami.
“Ayolah sayang, sibakkan siluet senja ini dan menjadilah diriku” rajuk Adin dengan mata menatap langit kamar.
Batu adalah batu. Kerasnya adalah diam. Dan Adin bukanlah matahari.
“Baik. Jadilah batu dan membusuklah di neraka!” pintu kamar dihempaskan. Rangkaian kata menjadi sampah.
Ditinggalkannya Tami dalam kamar yang telah ia pilih menjadi pusara. “Kau perhatikan makan dan minumnya.” Hanya itu pesan Adin pada pembantu di rumah. Seminggu ini ia lebih banyak di luar mengejar gerimis dan hujan bagi kerongkongannya. Meniadakan sakit dari batu yang telah melebamkan otak dan hatinya.
Sengaja tak ia kirim ahli jiwa atau orang pintar untuk memulihkan Tami kembali menjadi wanita penyeduh teh melati. Adin biarkan keheningan yang akan mengukir kesadaran batu itu. dan ia tahu itu butuh waktu dan jarak.
***
Elf. Dia menunjukan hamparan kartu yang menguak gejala jiwa Adin. Jiwa sungai yang meliuk dalam lekuknya, belum pasti memang tapi diharapkannya membawa dia ke lautan. Elf belum menjawab juga saat Adin menanyakan apa arti kemunculan kartu si bodohh itu. raut muka Elf begitu anyep, dengan mata menyapu langit ruang tamu dia member keheningan yang tak bisa dielakkan. Adin ikut terdiam. Menunggu lelaki berambut ikal kelimis itu sendiri yang memecahkan sekat senyap ini.
Cicak bernyanyi di balik jam dinding, jarum jam terus berdetak dalam rotasinya dengan irama yang tetap.
Sedetik setelah nyanyian cicak, elf beranjak dari duduknya dan berdiri di ambang pintu. Sambil matanya terus memerhatikan dedaun bamboo yang bergoyang dihembus angin, dari mulutnya terdengar siulan lagu Kokoronotomo.
Elf mengisyaratkan pada Adin supaya mendekat. Adin beranjak dan berdiri di samping dia. Kebisuan itu tetap menelikung mereka berdua. Tak ada patahan kata yang sanggup mencairkan kebekuan. Dengan telunjuk, Elf berbicara, kali ini ia meminta Adin untuk mengawasi gerak air di permukaan sungai. Nampak sampah-sampah plastik, bangkai ayam, tinja atau minyak yang mengambang silang sengkarut terbawa tetes-tetes air yang berlomba mencapai muara lebih dulu.
Elf membawanya ke bawah rumpun bamboo, jemarinya mengelus sebuah ranting, lalu mematahkannya. Lepas dari batangnya, dia kembali mematahkan ranting itu menjadi dua bagian dan melemparkannya ke sungai.
Telunjuknya mengikuti gerak ranting patah itu sampai hilang dari pelupuk mata. Matanya seperti bertanya apakah Adin mengerti? Adin hanya menggelengkan kepala.
***
Aku harus pulang, pikiran itu meranggas dalam kesadaran Adin yang dipenuhi semak belukar kerinduan. Sampai di depan pintu kamar, harum teh melati terendus oleh hidungnya, teh yang biasanya diseduh oleh Tami sebagai bagian dari ritual persetubuhan. Kerinduan dan gelora hasrat pria yang sudah serumah dengan Tami itu menggelegak terbawa dalam senyumnya sendiri. fragmen awal kenal, lingkar cincin di jari manis sampai seks air mancur mengisi kilasan kawat memori Adin.
Tapi apa yang terjadi dalam seminggu ini? Apakah Tami sudah kembali menjadi perempuan penyeduh teh? Entah darimana datangnya, pertanyaan-pertanyaan itu menohok sel-sel kelabu di kepala Adin.
Gagang pintu dia tekan ke bawah, untung engsel pintu tak cerewet saat Adin mendorongnya empat puluh lima derajat. Kamar itu terlihat lebih rapid an bersih disbanding ketika ditinggalkannya. Kosmetik tertata rapi di meja rias. Nampak bayangan tubuhnya yang letih terpantul di cermin. Tapi di mana Tami?
Harum melati mengambang, memenuhi ruangan. Dua cangkir teh di meja samping kanan ranjang dan dua…dua? Cangkir? Kenapa dua? Apa dia menungguku dan satu cangkir itu sengaja buatku? Atau? Adin membatin.
“sudah pulang?” suara dari belakang membuat Adin tersentak, sontak ia memutar tubuh dan Nampak Tami sudah berdiri di pintu. Tak mampu ia menjawab, matanya lebih dulu terpana melihat Tami yang begitu anggun. Rambut hitam panjang tergerai, gaun tidur merah muda dan jenjang leher bangau. Kembali Adin mabuk dibuatnya.
“keinginanmu untuk memeluk, simpanlah di lubuk. Teh itu bukan untukmu, aku sedang menunggu seseorang” Kini Adin yang merasa jadi batu mendengar itu. Tami bisa menebak jawaban dari sebuah kerinduan yang belum diungkapkan.
Duduk menghadap cangkir dan mengaduk teh itu dengan telunjuknya yang lentik, Tami begitu tenang, menyejukkan seperti semilir angin pagi hari. Dikulumnya telunjuk yang dipakai mengaduk. Bibir tipisnya yang merah basah Nampak berkilat tersiram cahaya lampu kamar.
“Cepatlah kau keluar. Dia akan segera datang”
***
“Kau belum juga mengerti?” suara berat Elf menetas setelah dieram kesunyian. Nyalang matanya merenggut Adin dari lamunan. Karena Adin hanya menggelengkan kepala, maka dia menarik napas panjang, lantas mnyunggingkan senyuman patah.
“Kau memang dia” Ucap Elf. Dan ini membuat burung yang terbang di kepala Adin bertambah.
“Siapa?” Pertanyaan yang harusnya Adin sendiri tahu jawabannya.
“Si bodoh” Elf memberekan kartu yang terserak di atas meja dan memasukannya kembali dalam bungkus karton. Tirai malam mulai terkembang saat Elf pami. Hendak meneruskan perjalanan memandu bintang, katanya. Kartu itu ditinggal sebagai cinderamata perkenalan.
“Jangan dibuka sebelum satu minggu lewat” Itulah pesan terakhir dari lelaki yang baru Adin kenal dua hari lalu.
Waktu itu dia datang dengan mengaku sebagai teman lama bapaknya Adin. Di pulau Borneo mereka pernah meneteskan darah dalam satu periuk. Kehadirannya di rumah Adin tak lain untuk menyerahkan kalung giok yang pernah dipesan bapaknya. Ia menyerahkan kalung itu pada Adin karena bapaknya sudah pindah ke rumah baka dua tahun terakhir.
Ia pun diperkenankan mencicipi keramahan rumah Adin, mulai dari guyuran air hangat di sekujur tubuhnya, seduhan capucino dalam gelas dan tentu saja senyuman dari wanita penyeduh teh.
***
“Siapa dia?” perasaan jijik menjalar kencang di tubuh Adin, begitu Tami beranjak ke meja rias, meneruskan pekerjaannya mengusapkan pelembab di kulit tangannya.
“Lelaki pemandu bintang” Rasa bangga itu tercap di bibir Tami. Ternyata dia belum sembuh, piker Adin.
“Apa aku mengenalnya?” Tanya Adin menelisik dalam gemerisik ranting terbakar di hati.
“ Sebelum aku menjadi batu” Kalimat sini mengungkit waktu yang berlalu.
“Apa nama mahluk itu?”
“Elf” sebuah nama hitam menyemburkan abu. Adin sekarat dan mesin pencatat nadi berjalan datar.
***
jauh sebelum percakapan bintang dan kartu tarot itu, dua orang sedang menulis scenario –kepiting di balik batu—mereka menyusunnya di atas ranjang.
“Kau sudah siap sayang?” Tanya si lelaki dalam rebahnya.
“Iya. Aku adalah perempuan penyeduh teh melati” peluk cium si perempuan menghunjam tubuh si lelaki.
“Dan aku adalah pemandu bintang” Lelaki itu mengimbangi permainan dengan menelusup ke bawah pusar.
Setelah lelah, mereka tertidur dengan seringai taring serigala tersembul di sudut bibir.

Followers