Minggu, 15 Februari 2009

Banten Nightingale

Banten Nightingale

Cerpen Dark Blues Piaggio Biru


Oleh Bayan Sentanu

Suka duka kita tidaklah istimewa//karena setiap orang mengalaminya//*

Di atas vespa biru yang melaju, Adi mengurai air mata. Sesekali berteriak. Parau suaranya terjepit deru kendaraan dan pekat malam.
Adi menghentikan laju Vespanya tepat di tengah jembatan kali Cidurian. Ia mendongakan kepala, menatap mendung yang memampati langit. Dengan mata yang terus saja menyimbahkan air, ia beranjak ke tepi jembatan. Di sanalah ia berteriak sekeras-kerasnya, tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang terpancing teriakannya. Gerimis menghujan menambah lebam hatinya.
***
“Kemana saja kau seniman?” Tanya Dillah sesaat setelah Adi memarkirkan Vespanya.
“Kenapa? Kau tak senang aku pulang!?” Adi menjawabnya disertai kembang senyum dibibirnya.
“Ternyata masih sama” Dillah menyodorkan telapak tangannya.
Adi pun menyambangi jabatan itu. kemudian dia masuk ke dalam rumah dan menyalami Ibu dan adik-adiknya. Di keluarganya, Adi sudah dianggap ‘Anak hilang’ karena dia sudah jarang sekali pulang. Jika Adi pulang tentulah ada urusan penting saja, pikiran seperti itu sudah tertanam di keluarganya.
Sore harinya, di amben di tempat pengajian di samping rumahnya, Adi bersendiri, sambil sesekali menyeruput kopi Mocacino di gelas kaca. Pikirannya menerawang kemana entah, hal itu Nampak dari matanya yang menatap kosong daun pohon jambu milik tetangga
“Kau baik-baik saja?” Tanya dillah yang muncul dari samping kanannya. Kemunculan Dillah yang tiba-tiba itu sedikit mengagetkan Adi.
“O..kamu. aku baik saja” jawab Adi sambil melirik Dillah sejenak, untuk kemudian pandangannya kembali ke daun jambu. Awal percakapan sore itu adalah percakapan patah, Tanya jawab terjalin dari kalimat-kalimat pendek yang keluar dari mulut keduanya. Setelah sedikit basa basi sekitar aktifitas keseharian, hening menyergap.
“ Aku punya mimpi. Seperti kau” Dillah memecahkan keheningan itu.
“Apa? Kau?” Adi seperti tak percaya
“Iya. He…Janganlah kau meremehkan kakakmu ini.”
“Wah, ini baru kemajuan. Memangnya kau punya mimpi apa?”
“Saat ini aku sedang menyusun kamus bergambar buat anak-anak. Lima seri.”
“Inggris atau Indonesia?”
“Inggris. Aku suka anak-anak, pendidikan. Aku ingin menyumbangkan pikiranku, tapi tetap aku ingin mendapatkan sesuatu”
“Di jual maksudmu?”
“ Iya. Kau tahu lah gaji guru honor tak seberapa. Terlebih istriku sedang hamil, aku butuh biaya banyak. Dan aku berniat keras bukuku itu harus tercetak sebelum anakku lahir”
Adi terdiam setelah mendengarnya, ia tak menyangka dengan jalan pikiran kakaknya yang maju. Diam-diam dalam hatinya Adi kagum.
“Lantas apa yang sudah kau lakukan untuk mewujudkan mimpimu?”
“Tinggal seri ke lima yang harus aku selesaikan. Dan aku sudah mendapatkan tiga alamat penerbit. Rencananya aku mau ke sana minggu depan” Dillah menunjukan kartu nama para penerbit itu dari dompetnya. Adi melihatnya, lantas tersenyum.
“baguslah kalau kau sudah tahu harus kemana” timpalnya.
Dillah kemudian mengajak Adi melihat disain bukunya di komputer. Mereka pun beranjak ke dalam rumah.
***
“Aku pergi ya mak…”Adi mencium telapak tangan Ibunya.
“Ya. Pintar-pintar bawa diri ya” pesan Ibunya sambil mengelus rambut Adi.
Sejatinya Adi sudah tidak nyaman lagi dengan perlakuan Ibunya itu, yang bagi Adi hanya cocok buat anak sekolah. Tapi demi menyenangkan orang tuanya Adi tidak protes. Adi merasa, dua hari tinggal di rumah berjauhan dengan aktifitas seninya sudahlah cukup membuatnya tersiksa. Tidak produktif; ungkapan yang biasanya digunakan olehnya.Ia pun bergegas menyalakan mesin Vespa birunya dan pergi meninggalkan rumah.
Sepanjang jalan, percakapan dengan Dillah tempo hari terus terngiang-ngiang. Ada keinginan Adi untuk membantu proses pencetakan kamus kakaknya. Mendadak ia teringat pengalaman pahit kawannya yang ditipu oleh pihak penerbit. Waktu itu pihak penerbit mengaku hanya mencetak buku cerpen kawannya sebanyak 2000 kopi dan didistribusikan di toko-toko buku besar. Tapi ternyata kawannya menemukan buku cerpennya beredar bebas di Kwitang Senen. Kualitas buku itu sendiri sangat sempurna, mulai dari berat kertas, tata letak, cover dan hal lainnya. Tentu saja kawan Adi itu penasaran dan mencoba memastikan angka cetak sebenarnya ke pihak penerbit.
Seperti yang sudah diduga, pihak penerbit menyangkal adanya pencetakan ulang tanpa sepengetahuan penulis, terlebih cara pembayarannya royalti.
“Aku harus membantunya” Adi tersadar dari lamunan.
***
Dua bulan sudah berlalu sejak percakapannya dengan Dillah, Adi sudah kembali membenam kan diri dalam produksi pementasan teater komunitasnya. Malam itu, tiga minggu sebelum pementasan, ia tengah berlatih di aula IAIN sampai dini hari. Setengah jam menyambut adzan subuh, ia baru sampai di sekretariat. Ia masuk dan menyalakan lampu. Didapatinya kawannya yang penyair sudah tergeletak tidur pulas. Adi merasa sangat lelah, ia segera mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat.
Baru saja ia hendak mengambil air minum, telepon genggamnya berbunyi.
“ Siapa lagi malam begini nelpon” batin Adi lantas mengambil telepon genggam itu di kamar dan melihat nomor penelpon di layarnya. Ternyata nomor Tania, adik perempuannya, lantas ia mengangkatnya.
“Halo…” Adi menyapa lebih dulu
“Ka Adi, pulang” ucap Tania sambil terisak
“Ada apa?”
“Ka Dillah meninggal”
“Ha!!??”
“Cepat ya ka”
“I..i..iya..”
Saat itu, benak Adi dipepati potongan-potongan gambar kakaknya. Tak ingin tenggelam dalam suasana melankolis, ia pun bergegas menyiapkan diri berangkat pulang. Sepanjang jalan, di atas Vespa, ia sangat menyesali dirinya, yang terlalu bodoh telah melupakan niat membantu kakaknya itu.
Sesampainya di rumah, ia sudah mendapati kerumunan sanak keluarga dan tetangganya. Ritual pengajianpun sudah berjalan. Di ruang tamu, ia mendapatkan tubuh kaku kakaknya terbujur di tutupi kain. Ia bersimpuh di depan mayat kakaknya dan membuka kain penutup muka, dipandanginya dengan lekat wajah pasi itu, lantas Adi mencium keningnya.
***
- Radang Paru-paru – itulah yang didiagnosa dokter yang menjadi penyebab kematian Dillah. Bagi Adi, yang memberatkan bukanlah kematian Dillah, melainkan istri dan calon anaknya, serta mimpi kakak ke tiganya itu yang ternyata belum terwujud. Tiga hari berkabung, adi menerima kenyataan yang lebih berat baginya.
“Ka, sebelum meninggal, Ka Ade menitipkan ini pada kakak” ucap Titi, istri Dillah dengan terisak menyerahkan manuskrip kamus seri ke lima yang baru saja rampung. Adi menerimanya dengan tangan berat. Saat Adi melihat cover manuskrip buku itu, ia sangat terkejut, namanya tertera sebagai penyusun di samping nama Dillah.
“Apa maksudnya ini Ti?” Adi bingung, merasa ia tidak pernah terlibat dalam penyusunan kamus itu.
“Ka Adi sudah dianggap guru oleh ka Ade, ia sangat mengagumi Ka Adi. Ia ingin Ka Adi meneruskan pekerjaannya ini”
Mendengar itu, Adi seperti dihantam seribu bogam. Ia menutup mata dan merembeslah air matanya. Seolah semua kata bersembunyi dari lidah, Adi hanya mampu menggeretakkan giginya.
“Aku akan lihat, apa yang bisa aku lakukan” Kalimat itu keluar sesudah ia mengerahkan tenaga untuk berdiri.
***
Menangisnya Adi di tepi jembatan malam itu, adalah buah dari kematian ke dua yang di temuinya. Anak Dillah yang baru dua hari menghirup napas, nyawanya harus tercerabut demam tinggi. Awalnya ia meneruskan pekerjaan kakaknya itu untuk anaknya, kini ia tak tahu, untuk siapa ia mewujudkan mimpi kakaknya.
Vespa birunya telah menjadi penyaksi air mata seorang aktor.



*Puisi WS. Rendra

Penulis anggota KSI dan teater AnonimuS

cerpen Jas Hujan di Musim Panas


cerpen Bayan Sentanu

Riuh tepuk tangan terdengar dari arah penonton, lampu sorot kembali menyala dan sudah Nampak Adi dan Uwo ditengah panggung, menundukan kepala dan merentangkan lengannya sebagai tanda penghormatan. Setelah lima menit menikmati tepukan tangan dan siulan penonton, mereka berdua pergi ke belakang panggung. Uwo menjabat tangan Adi dan memeluknya
“Permainanmu sangat sempurna” tandas Uwo sambil menepuk punggung Adi.
“Kau juga” Adi membalasnya.
Mereka berdua pun masuk ke ruang ganti kostum dan salin pakaian. Tak berapa lama, mereka keluar dan sudah nampak keluarga dan kerabat dekat mereka yang hendak memberi ucapan selamat. Adi dan Uwo menyambangi mereka dan terjadilah percakapan kecil, sesekali terdengar juga suara tawa.
Di sela-sela kegembiraan malam itu, ternyata mata Adi tak bisa diam menelisik diantara orang-orang. Dari gesturnya ia seperti sedang menunggu seseorang, ia nampak resah. Uwo menyadari kegelisahan Adi, ia pun mendekati dan menepuk bahunya.
“Jangan dicari, Tami tidak datang” Uwo mencoba menenangkannya. Nyatalah kekecewaan terpancar dari raut muka Adi.
Sesudah semua penonton pergi meninggalkan gedung teater dan kru panggung membereskan perkakas pentas, Adi permisi pergi ke halaman parkir . di sana, ia membuka pintu depan mobil carry dan menghempaskan diri ke kursi. Ia mengambil handphone dari dalam tas dan menyalakannya, ada beberapa pesan singkat masuk, dan kesemuanya dari teman-temannya yang berisi ucapan selamat atau permintaan maaf karena tidak bisa datang. Sayangnya, tidak ada pesan dari Tami.
Merasa penasaran, ia pun memencet nomor telepon Tami. Awalnya nada sambung terdengar tapi tidak ada yang mengangkat. Usaha kedua hanya dijawab nada sibuk. Helaan napas panjang menyusul setelah ia melemparkan handphone itu ke kursi sampingnya. Untuk kemudian ia merebahkan diri di kursi yang sudah di tarik ke belakang bagian sandarannya.
Satu persatu, potongan-potongan gambar peristiwa dua minggu yang lalu melintas kembali dibenak Adi.
Waktu itu siang menjelang sore, di saat Adi tengah berlatih teater di studio kelompoknya guna pementasan Jas Hujan Di Musim Panas. Dengan mengenakan jas hujan, Adi dan Uwo memilin kalimat-kalimat menjadi dialog, disertai pengaturan gerak. Di saat itulah muncul Tami di pintu masuk. Untuk sesaat kedatangan Tami mengganggu konsentrasi Adi, untungnya Adi segera sadar dan kembali fokus ke latihannya.
Tami sendiri sudah tahu kebiasaan Adi dan kelompoknya, maka ia segera mencari tempat duduk dan menunggu jam istirahat atau sampai latihan usai, baru sesudah itu bisa menemui Adi. setelah satu jam menunggu, akhirnya datang juga jam istirahat. Tami pun mendekati panggung dan menyapa Uwo dan kawan-kawannya. Setelah beberapa waktu berbasa-basi, Tami menarik Adi ke samping panggung dekat jendela.
“Kang, aku ingin bicara, penting. Sekarang!” wajah Tami mendadak serius. Adi mengernyitkan dahi.
“Ada apa? Kau kan tahu aku tak bisa meninggalkan latihan”
Adi mencoba memberikan pengertian lagi. Sejenak Tami tak menjawab, sampai akhirnya
“Tinggalkan panggung!” tandas Tami disertai dengan suara lirih.
Mendengar itu, Adi sangat terkejut. Dan ia segera menyadari sedang menghadapi sebuah persoalan serius. Betapa tidak, baginya panggung adalah impian sejak duduk di SMA, dan ia sudah bekerja keras membangun mimpi itu, dan kini tanpa alasan jelas ia diminta meninggalkan dunianya.
“Sebentar” ucap Adi dan bergegas mendekati Uwo dan mengajaknya berbicara, dengan berbisik, Adi minta pamit untuk meninggalkan latihan karena alasan yang diberikan Tami. Uwo sendiri merasa kaget dan ia langsung memandang tajam Tami. Tami hanya menunduk mendapatkan tatapan Uwo seperti itu. Uwo mengerti dengan kondisi emosi Adi, ia pun menepuk lengan Adi dan menyuruhnya pergi.
Keduanya pergi meninggalkan studio. Dengan berkendara Vespa, mereka menuju rumah Tami. Sepanjang jalan, keduanya berdiam diri. Walaupun begitu, sangat kentara kecamuk batin yang mendera, terlebih Adi sudah dipepati ratusan Tanya.
Sesampainya, Tami langsung masuk rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Adi cepat menyusul dan langsung melempar Tanya.
“Kenapa? Tinggalkan pentas? Kamu gila” adi mencoba menahan emosinya, ia duduk di kursi depan menghadap Tami. Berkali-kali Adi menanyakan alasan Tami hingga ia punya permintaan berat itu. Hanya menunduk yang bisa dilakukan Tami.
“Aku tak suka” Tami memotong omongan Adi. tatapan keduanya bertemu dan benak Adi semakin kisruh mendengar jawaban yang baginya tak jelas itu.
“Bukannya selama ini kau tidak keberatan dengan aktifitasku?”
“Aku suka melihatmu di atas panggung, tapi…”
“Tapi apa? Begini….”
Adi kemudian memaparkan kembali langkah panjang yang telah ia ambil, sampai ia dan kawan-kawannya kini punya studio teater sendiri. selain itu kelompoknya sudah dikenal luas di kalangan seniman. Sejatinya, Tami sudah mengetahui segala apa yang diutarakan Adi. namun ia memilih diam dan mendengarkan.
“Apa alasan sebenarnya?” Tanya Adi sambil tangannya menopang dagu.
“Aku tak suka kalau akang terus memakai jas hujan di musim panas”
“kau ada masalah dengan lakon yang aku akan pentaskan?”
“Cobalah kang mengerti”
Adi bergeming, menatap lekat wajah Tami untuk kemudian menyandarkan diri di kursi dan menerawan ke langit rumah. Ia mencoba menafsirkan ucapan Tami tadi. Kemudian Adi teringat, bahwa lakon yang akan dipentaskan bulan besok, bercerita tentang manusia-manusia pencari jati diri, dengan perilaku yang bagi kebanyakan orang dianggap bodoh dan tidak bermanfaat.
“Jadi maksudmu, apa yang sedang aku lakukan itu sebuah ketololan!?” Adi menghela napas panjang.
“Maaf kang, kita harus realistis. Mumpung kita belum menikah”
Mendengar itu, tiba-tiba Adi tertawa. Tami merasa aneh dengan respon yang diberikan Adi atas ucapannya, meski begitu Tami tidak bertanya. Tawa Adi mereda dan diam. Adi merasakan jalan hidupnya seperti tokoh Vasili Svietlovidoff dalam lakon Nyanyian Angsa. Seorang aktor tua yang hidup sendirian sampai akhir hayatnya.
Sambil menahan pedih, ia berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Mau dengar apa kata Vasilli pada Ivanitch ketika dihadapkan permasalahan seperti ini?” dengan tekanan suara yang berat, ia mengucapkan dialog Vasilli.
“Kau mengerti? Dia dapat mencintai akting. Tetapi, buat mengawininya tidak! Aku sedang berlakon pada suatu ketika. Ya, aku ingat, aku berperan sebagai badut yang tolol. Setelah berlakon aku merasa mataku jadi terbuka karena melihat apa yang pernah kuanggap pemujaan kepada seni begitu suci, sebenarnya adalah khayalan dan impian kosong belaka. Bahwa aku adalah badut yang tolol dan menjadi permainan yang asing dan sia-sia.
Akhirnya aku mengerti tentang penonton. Sejak saat itu aku tak percaya lagi pada tepukan tepukan mereka, atau pada bungkusan bunga mereka atau pada ketertarikan mereka. Ya, Nikituskha!orang memuja aku, membeli gambarku, tetapi aku tetap asing bagi mereka. Mereka memburu-buru supaya dapat bertemu dengan aku tetapi melarang adik perempuan atau putrinya untuk kawin denganku, seorang yang hina dina. Tidak! Aku tak yakin lagi kepada mereka. Tak yakin lagi kepada mereka.”
Mendengar itu, mata Tami dirembesi air. Ia terisak dan meminta maaf pada Adi. adi sendiri sudah tahu bahwa hubungan itu tidak akan bisa dilanjutkan. Kedua-duanya sama keras kepala dan keras hati.
“Datanglah di pementasanku nanti” pinta Adi “Aku akan tetap memakai jas hujan ini disegala musim”.
Dengan hati yang lebam, Adi melangkahkan kakinya keluar rumah, menghidupkan Vespanya dan beranjak pergi. Sementara Tami bergeming, ia merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi.
***
Ketukan di pintu mobil mengejutkan Adi. Ia membuka pintu dan didapatinya Uwo dan kawan-kawannya sedang memasukan perkakas pentas. ia pun mendekati dan memberikan bantuan. Setelah selesai, mereka semua masuk mobil dan pergi meninggalkan gedung teater.
-Penonton sudah pulang. Mereka semua sudah tidur dan melupakan si badut tuanya. Tidak seorangpun membutuhkan aku, tak ada yang mencintaiku-

Followers