Minggu, 15 Februari 2009

cerpen Jas Hujan di Musim Panas


cerpen Bayan Sentanu

Riuh tepuk tangan terdengar dari arah penonton, lampu sorot kembali menyala dan sudah Nampak Adi dan Uwo ditengah panggung, menundukan kepala dan merentangkan lengannya sebagai tanda penghormatan. Setelah lima menit menikmati tepukan tangan dan siulan penonton, mereka berdua pergi ke belakang panggung. Uwo menjabat tangan Adi dan memeluknya
“Permainanmu sangat sempurna” tandas Uwo sambil menepuk punggung Adi.
“Kau juga” Adi membalasnya.
Mereka berdua pun masuk ke ruang ganti kostum dan salin pakaian. Tak berapa lama, mereka keluar dan sudah nampak keluarga dan kerabat dekat mereka yang hendak memberi ucapan selamat. Adi dan Uwo menyambangi mereka dan terjadilah percakapan kecil, sesekali terdengar juga suara tawa.
Di sela-sela kegembiraan malam itu, ternyata mata Adi tak bisa diam menelisik diantara orang-orang. Dari gesturnya ia seperti sedang menunggu seseorang, ia nampak resah. Uwo menyadari kegelisahan Adi, ia pun mendekati dan menepuk bahunya.
“Jangan dicari, Tami tidak datang” Uwo mencoba menenangkannya. Nyatalah kekecewaan terpancar dari raut muka Adi.
Sesudah semua penonton pergi meninggalkan gedung teater dan kru panggung membereskan perkakas pentas, Adi permisi pergi ke halaman parkir . di sana, ia membuka pintu depan mobil carry dan menghempaskan diri ke kursi. Ia mengambil handphone dari dalam tas dan menyalakannya, ada beberapa pesan singkat masuk, dan kesemuanya dari teman-temannya yang berisi ucapan selamat atau permintaan maaf karena tidak bisa datang. Sayangnya, tidak ada pesan dari Tami.
Merasa penasaran, ia pun memencet nomor telepon Tami. Awalnya nada sambung terdengar tapi tidak ada yang mengangkat. Usaha kedua hanya dijawab nada sibuk. Helaan napas panjang menyusul setelah ia melemparkan handphone itu ke kursi sampingnya. Untuk kemudian ia merebahkan diri di kursi yang sudah di tarik ke belakang bagian sandarannya.
Satu persatu, potongan-potongan gambar peristiwa dua minggu yang lalu melintas kembali dibenak Adi.
Waktu itu siang menjelang sore, di saat Adi tengah berlatih teater di studio kelompoknya guna pementasan Jas Hujan Di Musim Panas. Dengan mengenakan jas hujan, Adi dan Uwo memilin kalimat-kalimat menjadi dialog, disertai pengaturan gerak. Di saat itulah muncul Tami di pintu masuk. Untuk sesaat kedatangan Tami mengganggu konsentrasi Adi, untungnya Adi segera sadar dan kembali fokus ke latihannya.
Tami sendiri sudah tahu kebiasaan Adi dan kelompoknya, maka ia segera mencari tempat duduk dan menunggu jam istirahat atau sampai latihan usai, baru sesudah itu bisa menemui Adi. setelah satu jam menunggu, akhirnya datang juga jam istirahat. Tami pun mendekati panggung dan menyapa Uwo dan kawan-kawannya. Setelah beberapa waktu berbasa-basi, Tami menarik Adi ke samping panggung dekat jendela.
“Kang, aku ingin bicara, penting. Sekarang!” wajah Tami mendadak serius. Adi mengernyitkan dahi.
“Ada apa? Kau kan tahu aku tak bisa meninggalkan latihan”
Adi mencoba memberikan pengertian lagi. Sejenak Tami tak menjawab, sampai akhirnya
“Tinggalkan panggung!” tandas Tami disertai dengan suara lirih.
Mendengar itu, Adi sangat terkejut. Dan ia segera menyadari sedang menghadapi sebuah persoalan serius. Betapa tidak, baginya panggung adalah impian sejak duduk di SMA, dan ia sudah bekerja keras membangun mimpi itu, dan kini tanpa alasan jelas ia diminta meninggalkan dunianya.
“Sebentar” ucap Adi dan bergegas mendekati Uwo dan mengajaknya berbicara, dengan berbisik, Adi minta pamit untuk meninggalkan latihan karena alasan yang diberikan Tami. Uwo sendiri merasa kaget dan ia langsung memandang tajam Tami. Tami hanya menunduk mendapatkan tatapan Uwo seperti itu. Uwo mengerti dengan kondisi emosi Adi, ia pun menepuk lengan Adi dan menyuruhnya pergi.
Keduanya pergi meninggalkan studio. Dengan berkendara Vespa, mereka menuju rumah Tami. Sepanjang jalan, keduanya berdiam diri. Walaupun begitu, sangat kentara kecamuk batin yang mendera, terlebih Adi sudah dipepati ratusan Tanya.
Sesampainya, Tami langsung masuk rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Adi cepat menyusul dan langsung melempar Tanya.
“Kenapa? Tinggalkan pentas? Kamu gila” adi mencoba menahan emosinya, ia duduk di kursi depan menghadap Tami. Berkali-kali Adi menanyakan alasan Tami hingga ia punya permintaan berat itu. Hanya menunduk yang bisa dilakukan Tami.
“Aku tak suka” Tami memotong omongan Adi. tatapan keduanya bertemu dan benak Adi semakin kisruh mendengar jawaban yang baginya tak jelas itu.
“Bukannya selama ini kau tidak keberatan dengan aktifitasku?”
“Aku suka melihatmu di atas panggung, tapi…”
“Tapi apa? Begini….”
Adi kemudian memaparkan kembali langkah panjang yang telah ia ambil, sampai ia dan kawan-kawannya kini punya studio teater sendiri. selain itu kelompoknya sudah dikenal luas di kalangan seniman. Sejatinya, Tami sudah mengetahui segala apa yang diutarakan Adi. namun ia memilih diam dan mendengarkan.
“Apa alasan sebenarnya?” Tanya Adi sambil tangannya menopang dagu.
“Aku tak suka kalau akang terus memakai jas hujan di musim panas”
“kau ada masalah dengan lakon yang aku akan pentaskan?”
“Cobalah kang mengerti”
Adi bergeming, menatap lekat wajah Tami untuk kemudian menyandarkan diri di kursi dan menerawan ke langit rumah. Ia mencoba menafsirkan ucapan Tami tadi. Kemudian Adi teringat, bahwa lakon yang akan dipentaskan bulan besok, bercerita tentang manusia-manusia pencari jati diri, dengan perilaku yang bagi kebanyakan orang dianggap bodoh dan tidak bermanfaat.
“Jadi maksudmu, apa yang sedang aku lakukan itu sebuah ketololan!?” Adi menghela napas panjang.
“Maaf kang, kita harus realistis. Mumpung kita belum menikah”
Mendengar itu, tiba-tiba Adi tertawa. Tami merasa aneh dengan respon yang diberikan Adi atas ucapannya, meski begitu Tami tidak bertanya. Tawa Adi mereda dan diam. Adi merasakan jalan hidupnya seperti tokoh Vasili Svietlovidoff dalam lakon Nyanyian Angsa. Seorang aktor tua yang hidup sendirian sampai akhir hayatnya.
Sambil menahan pedih, ia berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Mau dengar apa kata Vasilli pada Ivanitch ketika dihadapkan permasalahan seperti ini?” dengan tekanan suara yang berat, ia mengucapkan dialog Vasilli.
“Kau mengerti? Dia dapat mencintai akting. Tetapi, buat mengawininya tidak! Aku sedang berlakon pada suatu ketika. Ya, aku ingat, aku berperan sebagai badut yang tolol. Setelah berlakon aku merasa mataku jadi terbuka karena melihat apa yang pernah kuanggap pemujaan kepada seni begitu suci, sebenarnya adalah khayalan dan impian kosong belaka. Bahwa aku adalah badut yang tolol dan menjadi permainan yang asing dan sia-sia.
Akhirnya aku mengerti tentang penonton. Sejak saat itu aku tak percaya lagi pada tepukan tepukan mereka, atau pada bungkusan bunga mereka atau pada ketertarikan mereka. Ya, Nikituskha!orang memuja aku, membeli gambarku, tetapi aku tetap asing bagi mereka. Mereka memburu-buru supaya dapat bertemu dengan aku tetapi melarang adik perempuan atau putrinya untuk kawin denganku, seorang yang hina dina. Tidak! Aku tak yakin lagi kepada mereka. Tak yakin lagi kepada mereka.”
Mendengar itu, mata Tami dirembesi air. Ia terisak dan meminta maaf pada Adi. adi sendiri sudah tahu bahwa hubungan itu tidak akan bisa dilanjutkan. Kedua-duanya sama keras kepala dan keras hati.
“Datanglah di pementasanku nanti” pinta Adi “Aku akan tetap memakai jas hujan ini disegala musim”.
Dengan hati yang lebam, Adi melangkahkan kakinya keluar rumah, menghidupkan Vespanya dan beranjak pergi. Sementara Tami bergeming, ia merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi.
***
Ketukan di pintu mobil mengejutkan Adi. Ia membuka pintu dan didapatinya Uwo dan kawan-kawannya sedang memasukan perkakas pentas. ia pun mendekati dan memberikan bantuan. Setelah selesai, mereka semua masuk mobil dan pergi meninggalkan gedung teater.
-Penonton sudah pulang. Mereka semua sudah tidur dan melupakan si badut tuanya. Tidak seorangpun membutuhkan aku, tak ada yang mencintaiku-

Comments :

0 komentar to “cerpen Jas Hujan di Musim Panas”