Kamis, 28 Februari 2008

sastra imperialis

Mahdiduri
Penyair dan ketua KSI Banten

Nasionalisme humanis dibangun atas dasar prinsip, setiap bangsa mampu memberikan sumbangan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia, serta untuk pengembangan nilai-nilai humanisme sesuai dengan karakteristik dan sifat-sifat bangsa itu.

Tidak hanya paham kebebasan, keadilan dan kesetaraan, tetapi paham toleransi adalah hal yang perlu mendapat perhatian dalam tata pergaulan internasional. Nasionalisme yang berlandaskan pada toleransi tidak hanya dapat menciptakan perdamaian dunia, tetapi dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Demikian gagasan nasionalisme humanis dari seorang Soekarno.

Pada saat ini nasionalisme bangsa kita tengah dirongrong oleh kekuatan besar dari Barat yang kita kenal sebagai imperialisme. Kita telah didikte bagaimana bernegara, begitu banyak kebijakan-kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat telah disulap menjadi keuntungan para pemodal besar.

Sejak kebijakan penanaman modal asing ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali kebudayaan. Kita telah diberi fatamorgana budaya yang membuat kita merasa nyaman. Pada sektor budaya ada sebuah skenario besar yang sedang dijalankan lewat agen-agen yang sengaja ditanamkan di negeri ini dengan memakai wajah kesenian.

Dalam skenarionya, pihak imperialis menyadari bahwa saat ini sangat tidak mungkin untuk memaksakan kehendak dengan jalan menginvasi sebuah negara lewat militerisme (walaupun hal itu sedang dilakukan di wilayah Timur Tengah). Maka, strateginya melalui protectorate atau mandate dan targetnya adalah menghancurkan tatanan politik, sosial, dan moral rakyat, agar memeluk nilai-nilai kaum imperialis.

Pada imperialisasi kebudayaan, kaum imperialis berencana menguasai jiwa (de geest) dari bangsa lain, karena dalam kebudayaan terletak jiwa suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, maka berubahlah jiwa bangsa itu. Kaum imperialis hendak melenyapkan kebudayaan suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan kaum imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti menguasai segala-galanya dari bangsa itu.

Imperialisme kebudayaan itu adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.

Ada indikasi yang sangat kuat bahwa imperialisme budaya dewasa ini sedang tumbuh dalam sastra Indonesia kontemporer, terutama melalui fiksi-fiksi seksual-liberal karya para penulis terkini yang sebagian berasal dari Komunitas Utan Kayu (KUK). Seks sebagai tema primer karya-karya mereka, terutama karya-karya Ayu Utami, adalah "panser ideologi" yang dipaksakan masuk untuk menumbuhkan imperialisme budaya itu.

Mereka telah mendewakan nilai-nilai estetis sebagai sebuah pencapaian karya adiluhung, tanpa memperhitungkan nasionalisme dan moralitas generasi bangsa ini. Betapa tidak, kebebasan membicarakan seks (gerakan-gerakan seks) yang termaktub dalam karya-karya mereka hanya dimiliki oleh kebudayaan Barat. Sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Indonesia.

Kearifan lokal kita lebih menghormati hak individu dalam bersenggama dan lebih halus pengungkapannya. Pembicaraan (konsultasi) seks dilakukan pada pihak tertentu saja: suami-istri, dokter, konselor rumah tangga. Tidak diumbar kemana-mana, apalagi dipublikasi secara luas lewat buku dan media massa.

Sebagai komunitas intelektual, KUK sebenarnya mampu menyerap sumber inspirasi dari kebudayaan lokal, seks sekalipun. Tetapi, lewat karya-karya Ayu Utami, TUK malah menyajikan seks ala Barat yang liberal dalam upaya menarik simpati pemodal besar kaum imperalis. Seperti halnya Dante lewat karyanya, La Divina Comedia, yang terinspirasi Isra Mi'raj nabi Muhammad (berisi penghinaan), kaum imperialis telah menggunakan sastra dan film sebagai propaganda ideologi mereka.

Beragam politik kesenian pun mereka jalankan, seperti disinyalir dalam tulisan Viddy A Daery (Gerakan Sastra Anti Neo-Liberalisme) bahwa KUK mendirikan sanggar-sanggar sastra di berbagai daerah, sebagai bagian dari "gerakan politik sastra" untuk liberalisasi. Dalam kaitan ini KUK juga berupaya merebut kursi-kursi strategis di bidang sastra, seperti menguasai Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Wowok Hesti Prabowo dan Maman S Mahayana malah meledek bahwa DKJ sekarang telah menjadi cabang KUK. Ada kabar, DKJ tahun ini membantu dana besar untuk pelaksanaan program rutin KUK, yakni Utan Kayu International Literary Biennale 2008, dengan mengorbankan program Komite Sastra DKJ sendiri.

Sementara, acara besar Pekan Presiden Penyair (PPP) yang pekan lalu diselenggarakan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) di TIM, sama sekali tidak mendapat bantuan DKJ. Menurut ketua YPM Asrizal Nur, panitia PPP bahkan cenderung dipersulit untuk menyewa tempat di TIM. Ketua Masyarakat Sastra Jakarta, Slamet Rahardjo Rais, juga sempat mengeluhkan program Komite Sastra DKJ yang tidak menyentuh komunitas sastra di Jakarta yang seharusnya menjadi sasaran program DKJ. Kenyataannya, Komite Sastra DKJ periode ini memang hanya mengadakan acara rutin kecil-kecilan, yakni Lampion Sastra, yang sesungguhnya cukup dilaksanakan oleh sanggar sastra atau lembaga mahasiswa -- alias 'bukan level' DKJ.

Saya rasa pendirian komunitas cabang KUK atau TUK di daerah-daerah juga adalah skenario lain untuk merekrut penganut-penganut baru yang akan patuh pada kehendak sang imperialis dalam mendikte kebutuhan sastra ke depan. Dan, penguasaan posisi stategis dalam lembaga kesenian, disinyalir adalah upaya untuk memperkuat finansial organisasi terkait dengan berkurangnya pasokan dana dari luar (subsidi silang), dengan bukti kasus bantuan dana DKJ untuk biennale KUK di atas.

Melalui novel dan esei-eseinya di X-Magazine, aktifis KUK Ayu Utami pun mengumbar tubuhnya sendiri ke khalayak ramai tanpa rasa malu. Ini adalah keprihatinan terdalam bagi kaum perempuan! Eksploitasi tubuh atas nama eksplorasi estetis telah dijadikan tameng dalam memunculkan sastra gaya rambut belah tengah -- sebuah feminisme sastra liberal yang menyesatkan!

Terkadang rasa penasaran menghinggapi tatkala melihat sepak terjang para perempuan yang tak segan-segan memperagakan gerakan seks mereka sendiri lewat kata. Jadi, apa perbedaan fiksi-fiksi seksual mereka dengan layanan seks premium call 0809? Apakah mereka merasa lebih berderajat karena berada di jalur sastra?

Memang, fiksi seksual tidak hanya ditulis oleh orang-orang KUK, tapi juga penulis di luar KUK, seperti Dinar Rahayu, Djenar Maesa Ayu, Hudan Hidayat dan Mariana Amirudin, serta Henny Purnamasari. Namun, karya-karya mereka muncul setelah novel Saman karya Ayu Utami mendapat sambutan banyak kalangan dan laris di pasaran.

Keteguhan seorang Jane Austen menggali peristiwa lokal sebagai sumber inspirasinya patut digugu dan ditiru, bagaimana dia konsisten mewartakan lewat sastra perihal kehidupan perempuan di masanya yang menjadi korban pergerakan industri. Walaupun banyak dicemooh kalangan kritikus sastra karena tidak peka dengan sejarah besar 'revolusi industri', siapa sangka karya-karyanya abadi, dan bahkan banyak menjadi bahan telaah. Seperti yang diakui oleh Edward W Said, dalam Mansfield Park Jane, tidak buta-buta amat akan kondisi sosial politik yang kental kritik terhadap imperialisme.

Proses kekaryaan Jane mengajarkan pada kita bahwa keabadian karya bukan dilihat dari isu hangat apa yang akan melambungkan popularitas, yang sifatnya sementara. Melainkan keteguhan hati dalam mewartakan apa yang menjadi tuntutan rakyat pada masanya.

Substansi dari peran kaum intelektual adalah membongkar hegemoni! Hampir semua cendekiawan tempo dulu adalah hasil dari didikan penjajah, tetapi mereka berhasil menempatkan diri agar tidak terjerat menjadi 'intelektual bayaran' yang bisa disetir oleh penjajah. Tapi, ternyata kondisi ideal itu tak berlaku lagi di saat sekarang, semua serba pragmatis dan pesimistis. Kesusateraan Indonesia digadaikan hanya karena keinginan sebuah komunitas untuk menjadi jaya, untuk menjadi yang terbesar.

Legitimasi semu sastra yang ditawarkan pihak pendukung hegemoni atau sentralisasi sastra hanyalah permen yang bisa menghancurkan gigi kesusasteraan Indonesia. Sudah cukup sastra kita didikte oleh satu komunitas atau lembaga kesenian dalam menentukan kebutuhan pasar sastra Indonesia ke depan. Adalah kebodohan jika kita tahu kondisi (permasalahan) lingkungan kita tapi kita sendiri tidak bergerak!

Karena itu, sudah saatnya para sastrawan Indonesia menabuh genderang perang untuk melawan sastra imperialis-liberalis dalam segala bentuknya. Hentikan praktek prostitusi kebudayaan yang akan menelan nasionalisme dan moral kita! Saatnya bergerak dengan apa yang kita bisa!

( )

cerpen

Senyum Vagina
Karya Bayan Sentanu

Vagina yang hitam manis. Vagina yang berambut lebat.Vagina yang bisu.Vagina yang lakunya agresif. Vagina yang kalau tertawa nampak gigi putihnya berbaris rapi…

Dia meminta Merti mengangakan mulut dan menjulurkan lidah, lantas ia mengeluarkan senter kecil dari saku baju kerjanya dan menyorotkannya ke dalam rongga mulut Merti. Sesudahnya ia tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.
Merti membalas senyuman itu.
“Jadi aku benar-benar pulang hari ini!? Aku akan merindukan rumah sakit ini dan… kamu tentunya.” Mata Merti sembab menitikan air mata. Air hangat itu diusap jemari Vagina sambil menggelengkan kepala. Gadis itu mengeluarkan blok note dan sebatang pena. —Jangan menangis, kita bisa bertemu lagi kok, seperti Dimiter dan Verstephany. Hubungi aku kalau sudah sampai di rumah-- tulisnya.
Bagi Merti, Vagina bukanlah perawat biasa, ia adalah dokter yang mampu melampaui kemampuan para dokter di rumah sakit itu. Ia lebih mujarab tinimbang obat-obatan yang dikonsumsinya. Ia adalah….
Muncul seorang lelaki paruh baya di ruangan itu, ia mendekati ranjang dan mencium kening Merti. Lantas ditatap dan sapanya Vagina dan ia menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Vagina menyambutnya, disertai senyuman itu tentu saja. Lelaki itu bernama Hudas, dan ia adalah suami Merti.
Hari itu adalah hari kepulangan Merti dari rumah sakit setelah tiga bulan dua minggu satu hari terbaring karena stroke yang dideritanya. Ia ditempatkan di paviliun Srikandi, ruang rawat inap kelas satu.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Hudas pamit pada mereka berdua untuk menyelesaikan urusan administrasi perawatan Merti. Ditutupnya pintu ruang itu dengan pelan sampai suara pintu terkancing nyaris tak terdengar.
Merti menyapukan tatapannya ke seluruh sudut ruangan itu. Untuk kemudian mengalihkan pandangannya pada Vagina.
“V, kamu masih ingat saat kita pertama kali bertemu?” Seraya menyunggingkan senyum. Vagina mengiyakan dengan anggukan kepala dan ikut tersenyum. Merti mulai mengurut ingatannya.
Merti ingat saat ia siuman, Vagina bermaksud hendak mengganti bantal yang dipakai Merti, dan untuk itu ia harus mengangkat kepala Merti. Saat mengangkat kepala Merti itulah buah dada Vagina mengangkang tepat di wajah Merti. Ketika Merti membuka matanya, yang pertama dilihat ialah payudara gadis itu. Sontak ia kaget.
Tak sanggup berbicara, Merti mengerang lirih tanpa kuasa bergerak. Vagina menyadari Merti sudah siuman, kontan ia mundur. Disodorkannya secarik kertas pada Merti. –Maaf, saya bermaksud mengganti bantal Anda-- tulisnya. Merti membacanya dan ia pun mengedipkan matanya, Vagina mengerti arti kedipan Merti, ia melanjutkan pekerjaannya.
***
Saya punya cerita, mau dengar?-- tulisnya di blok note. Merti menganggukan kepala, walau ia tak tahu dengan apa Vagina akan bercerita. Vagina minta Merti bersabar dengan mengangkat kelima jari kanannya, lantas ia masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudian pintu toilet terbuka disusul longokan kepala di kusen pintu. Merti agak terkejut saat ia melihat bukan wajah Vagina yang muncul, melainkan wajah berkacamata bulat, berhidung besar, berkumis lebat dan panjang.
Untuk sesaat wajah itu timbul tenggelam di kusen pintu.
“Sedang apa kamu di situ?” tanya Merti dengan sedikit senyum. Tapi wajah itu tetap seperti tadi. Beberapa kali Merti menyebut nama Vagina. Tapi tak diresponnya. Kecemasan merambati benak Merti, ia mulai berpikir macam-macam.
“Kamu jangan main-main, saya takut.”
Sesudah ucapan Merti tadi wajah itu tak nongol lagi. Beberapa saat Merti terdiam dengan perasaan was-was, untuk kemudian dari bawah kusen pintu yang sama muncul kaki perempuan. Awalnya telapak kaki, betis, dan akhirnya paha, di pergelangan kakinya terpasang kerincingan.
Merti melongo disuguhkan hal seperti itu. Telapak kaki itu berputar ke kanan, pelan. Berputar ke kiri, pelan juga untuk kemudian tak bergerak. Perlahan, kaki itu bergetar dan kerincingan mulai mengeluarkan bunyi. Merti semakin tak mengerti dengan apa yang dilihatnya. Rasa takut, penasaran, berkumpul menjadi satu. Ada keinginan Merti mendekati kusen pintu itu dan mencari tahu, tapi kondisi badannya yang masih lemah menjadi alasan mengurungkan niatnya.
Seperti wajah tadi, kaki itu pun perlahan menarik diri ke balik pintu. Merti memanggil kembali Vagina, tapi tetap tak ada tanggapan.
“Kalau kamu tidak kemari, aku mau tidur.” Tukas Merti sedikit mengancam. Walau begitu, ucapannya tak lain hanya sekedar untuk mengenyahkan rasa takutnya. Dia memindahkan pandangannya ke eternit kamar yang putih.
Di sana, wajah Hani, anak perempuannya memabyang. Dua puluh dua tahun ia membesarkan gadis itu. Belum lengkap ia bahagia sebagai seorang Ibu dengan sebuah pernikahan anaknya. Hani sudah divonis mati dengan lebam disekujur tubuhnya. Hasi dari sebuah demonstrasi.
Sejak kematian Hani enam bulan lalu itulah. Merti sudah dirawat di rumah sakit dua kali dengan sebab yang sama. Stroke. Tubuh perempuan itu menjadi begitu lemah jika dihadapkan dengan kenyataan pahit yang telah menimpanya. Seperti sekarang ini, ia tak kuasa mengendalikan air matanya dengan hanya membayangkan wajah Hani.
Rasa takut yang tadi sempat terusir oleh bayang wajah Hani, kini menyeruap kembali manakala dari dalam toilet, sebuah ketukan pintu merambat menjadi tetabuhan. Diiringi separuh badan menyembul dari kusen tadi. Bertelanjang dada, sementara bawahannya memakai kain putih berbelahan tengah.
Di sana, pemanpakan sosok itu kian jelas. Dengan wajah yang tadi, sosok berambut itu meliuk-liuk, menari mengikuti irama tetabuhan. Kulit sawo matangnya nampak jelas diterangi lampu neon. Lidahnya menjulur sedikit dijepit bibir tipisnya. Yang membuat Merti mendelikkan mata adalah payudara sebesar buah pir sosok itu dihiasi sebentuk mata, bukan putting.
Tetabuhan dan suara kerincingan seirama dalam satu ketukan nada.
Kian lama gerakan tubuh sosok itu lebih menyerupai gerakan erotis dari pada sebuah tarian. Pahanya disandarkan ke tembok, dengan telapak tangan menempel ke kayu kusen, tubuhnya naik turun. Gerakannya seperti belut berenang. Di ranjang, Merti mengamati postur separuh tubuh itu. Rambut sebahu, bibir tipis, kulit sawo matang, dan buah dada yang mungil. Ia tersenyum.
Cukup lama adegan itu berlangsung, untuk kemudian separuh tubuh itu pun masuk kembali ke dalam toilet.
Merti yang mulai yakin bahwa sosok itu adalah Vagina dari postur tubuhnya, tidak lagi merasa takut. Ia malah tertarik untuk mengikuti alur, dan ia mulai menerka-nerka cerita yang dimaksudkan Vagina sebelumnya. Kehadiran wajah bertopeng paman Doli, kaki dengan kerincingan, dan sekarang separuh tubuh itu dengan mata di payudara. Kini yang dilakukan Merti adalah menunggu potongan fuzzle berikutnya dari Vagina.
Masih dengan kostum itu, Vagina muncul dari dalam toilet, berdiri di depan pintu, untuk kemudian merentangkan tangan seperti sayap, dan telapak kaki disilangkan, dijinjit. Vagina berputar dan melakukan gerakan burung terbang mendekati Merti.
“Kau konyol, V,” sela Merti. Tapi Vagina terus bergerak, kini ia melakukan gerakan looking around dengan meletakkan tangan kanannya menyamping di pelipis matanya, silih berganti kanan dan kiri. Apa yang kau lihat, V?—batin Merti memaknai gerakan Vagina.
Vagina berdiri di samping Merti. Ia menyapukan telapak tangan kanannya ke wajah Merti, tapi tidak menyentuh, hanya mengangkang. Mata Merti mengikuti gerak jemari seperti kibasan ekor ikan itu. Selesai dengannya Vagina beranjak ke depan ranjang. Tetap dengan gerakan gemulai. Di sana, ia memeragakan seseorang yang hendak memanah. Tali busur itu ditarik dengan anak panahnya dari atas, busur dan talinya meregang lantas di arahkan ke dada Merti, dan…
Lampu dalam paviliun itu padam dua puluh menit kemudian, terlihat Vagina keluar darinya dengan seulas senyum.
Cahaya mentari merembes ke balik gorden dan menerpa sebagian wajah Merti. Ia pun terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak ada orang di sampingnya, Vagina yang selama ini selalu hadir sebelum ia bangun tidur, tak nampak pagi itu. Hudas sang suami tak menginap menemaninya karena ia sedang ada tugas penting dari kantor sejak sehari yang lalu. Semua keperluan Merti dipercayakan pada Vagina. Dokter Apollo datang hanya pada jam pengecekan saja. dan pagi itu adalah pagi ke 82 Merti berada di rumah sakit itu.
Menatap ke langit-langit ruangan, Merti menerawang mengingat peristiwa tadi malam, ia yakin itu bukan mimpi. Adegan terakhir yang diberikan Vagina adalah ia memainkan tubuhnya yang dihiasi kumis tebal paman Doli. Dimonyongkan, dilebarkan, dan gerakan lain yang bagi Merti sangat jelek dan membuat bergidik.
Vagina. Mulutnya lentur, kulitnya agak gelap, berkumis lebat, dan bergigi putih. Dari deskripsi itu Merti teringat sesuatu, mendadak ia tersenyum.
“Vagina bergigi?” Senyumnya mengembang menjadi tawa.
***
Buku itu untukmu—tulis Vagina, saat merti hendak mengembalikan buku dewi Balbao yang dipinjamkan Vagina sebulan yang lalu. Buku tentang dewi penari perut: Balbo. Sosok serupa perempuan yang bermulut bibir Vagina dan bermata di payudara. Dari mulutnya itu lelucon-lelucon keluar dan menghibur Dimiter kembali pulih dan meneruskan pencariannya. Hal ini mengundang rasa simpati dewa-dewa untuk membantu Dimiter.
Merti tersenyum lantas memeluk Vagina. Tak lama Hudas masuk ruangan dan ia berkata bahwa semua urusan administrasi sudah selesai. Ia pun membereskan barang-barang Merti. Mereka bertiga keluar paviliun, berjalan di lorong menuju pintu keluar rumah sakit.
“Pah, tahu tidak, sebenarnya aku sembuh bukan karena obat lho, pah. Tapi karena Vagina.”
“Oh ya!?” Hudas dengan nada datar menanggapi ucapan istrinya.
“Papa gak tahu sih, nanti aku ceritakan di rumah,” ucap Merti sambil melirik Vagina. Ia membalas dengan senyuman, mengerti maksud Merti.
Di tengah perjalanan, Vagina pamit, alasannya hendak ke ruangan dokter Apollo. Setelah berpelukan, mereka pun berpisah.
Barang-barang sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil, Merti sudah duduk di kursi depan, penuh senyum. Mendadak Hudas minta ijin hendak kembali ke paviliun. Ada yang tertinggal alasannya. Ia pu bergegas pergi ke sana.
Tapi sebenarnya Hudas tidaklah menuju ruang rawat inap itu, ia berbelok ke arah berlawanan, ke ruangan V. Meliahani: Psikolog.
“Terima kasih atas bantuannya, dok.” Hudas menyodorkan telapak tangan kanannya.
“Sama-sama,” balas Vagina menyambut jabatan tangan itu.

Balai Budaya Tangerang, Oktober 2005

puisi

Gaza I

Di gaza
Semua berlari, berairmata
bertanya akankah gigil pagi
masih bisa mengeletarkan
tulang-tulang keluarganya

Sementara Tanya
jawab kemudian
sedetik dari tanya
sebuah peluru
berpusara di dada

segala terbaring bergelimpang
segala mencium tanah nan rata

hanya tubuh tegak
lelaki dari rumah jagal
yang bermata kesumba
menyeringai serigala
sesudah lapar dikenyangi



02/09


Gaza II

Di Gaza, meski
pita-pita hitam dari negeri jauh
tersulam menjadi satu bendera putih
tak mampu menghentikan jalannya
pawai dua ratus bendera kuning pertama



Gaza III

Yang tersisa dari
runtuhan peperangan
Hanya gerak lemah jemari anak perempuan
yang mengetuk bumi


Kahwa dan Cicak

Segelas kahwa manis jambu
dan bunyi cicak pengganti
detak jam yang rusak
Menautkan kawat dari masa depan

Hujan yang bermusim di mata kecil
gadis Mintuna kemarin senja
Sesar perlahan
Bermusim cahaya di pagi
yang paling Juni

Bergaris nol derajat lintang barat
kita saling bertanya lewat tatap
Bermatahari di belakang tubuh
kita berdua menjadi cium

segelas kahwa tabur
di kotak imaji
seekor cicak
bertepuk tangan
jatuh dan mati

02/09

Episode Laron Sang Pemburu

Bertahun namamu diburu lelaki berkelamin ungu yang
ingin kembali menjejakkan kakinya di tanah gambut,”akan
kujadikan kau bayang masturbasiku” solilokui ke enam puluh
dengan Revolver membidik kelamin.

Sebagai warisan kebencian lelaki itu, aku memburu
fosil namamu di setiap kubur bertabur mawar putih dan
bernisan ranting muda yang patah. Yang kudapat;
sepotong ati ayam ditelan musang bulan. Namamu
terbungkus daun sirih dan kain merah.

Angin berganti arah, dendam tiada lagi emmbuncah.
Saat pesta, cermin buram oleh embun malam.
Menenggak namamu yang kental dalam gelas kristal,
membawaku ke lautan yang tak habis ditenggak
sekawanan raksasa lapar.

Gelas tergeletak tiada berkerak. Tapi kerongkonganku
memanjang yang membuat aliran namamu kian jauh
dari penuhnya ceruk kepuasan seorang pemburu.

Dalam tidur ayam, kudengar namamu bernyanyi saat
luruh dalam gemuruh darah yang memusar di jantung.
Lantas menjulurkan lidah, menjilat moncong
senapanku. “yang kau dapat hanya banyang” gemerisik
dedaun sambil menasbih namamu.


Tangerang, Agustus 2005


Pembunuh Mencinta


Katamu puisi itu semesra
Hembusan angin mulut di daun telinga
Sebelum bercinta
Biar garam mendidihkan luka
Pun meledak air mata

Katamu lagi puisi itu membunuh pelan-pelan
Nyawa dilarang lekas melayang
Seperti ayam disembelih dengan silet berkarat
Biar ayat-ayat Tuhan jadi pakaian
Pun tawa bayi di pahang siang

Jika begitu,
Pinjamkan mata pena
Agar bisa aku mencacah kata-kata
Dan menidurkanmu dalam puisi ini


Tangerang, Oktober 2005

Doa Seusai Perang


Jika seusai perang
Bendera itu tetap mandeg
Di tengah tiang

Pintaku, lesatkan ruhku
Dengan sebelas tembakan ke udara
Agar cepat sampai padamu;
Kawan lama


Tangerang, Agustus 2005

Dua musim di sungai peranakan


Dua musim dua cerita di hulu sungai
Diantara mekar-kuncup si putri malu
Sekian lama alpa. Kecantikan Cai Sadana
Kembali mengambang di tengah arus tahun kuda
Bibir tipisnya bergincu merah jambu dengan
Pupur rata bedak cempaka di pipi
Teratai terapung di liuk tubuh sungai, mengundang dewa-dewa
Di tujuh penjuru angin dalam sebuah pesta. Peh Cun.
Killin bermain bola emas di ujung tiang
Irama rancak memadu gerak pencak
Sebilah pedang lentur berkilat
Membelai angin, mengasah mata para undangan
Pinggir sungai ditumbuhi umbul-umbul merah
Lampion merah menenggelamkan keruhnya sungai
Liong meliuk melilit wayang cokek
Gempal pinggulnya berlenggok menarik paksa berahi
Lelaki Benteng di pinggiran kota
Bergerombol, gabus berebut masuk bubu
Sepanjang istirah, tersuguh arak putih di meja arwah
Hormat langit, hormat bumi, hormat leluhur, hormat keluarga
Kole-kole dikayuh wareng jantan
Tantang lawan menabuh tambur
Semua berkokok merebut pita garis akhir
Sampai tersandung beduk asar

Satu musim hanyut sudah ke muara
Pelaminan ditinggal penganti masuk goa pertapa
Singa merah digantung di tembok
Naga hijau terlipat dalam peti
Teh Hian, Kromong menghuni museum purbakala
Terpercik luntur merah kain pesta

Satu musim lagi akan tertuang di botol-botol bir
Diiringi musik hidup dari wanita yang menyelipkan sebatang rokok di bibir.


Tangerang, April-Mei 2005


Puisi yang Meragu
:Inggit Putria Marga


aku memilih bunga hujan
karena itu obat tetes mata

sudah terlalu lama mataku
dirajam abu rokok
musang berparas sebatih
yang bercokol di bawah ketiakmu

aku meragu batu karena cinta badaimu
datang terlalu pagi. Sebelum hening selesai

aku menjauh dari sang penakluk
agar bunga yang pasti ada tak runtuh

untuk puisi yang meragu cinta dari sebilah hujan
yang menggedor pintu tengah malam
dan memaksaku menyalakan lampu
yang kumau – menjadilah pusaraku –

tangerang, Agustus 2005



Dari Lapar Menuju Syair

Pada tubuh halimunmu. Hantar.
Kamu jadi embun. Harap.
Jemari merimbun daun. Aku

Nafsu terbakar. Langu.
Bulan hidup. Sejak.
Bulan mati. Sampai.

Kujamah-jamah lapar
Kurindu-rindu syair
Laparmukah dalam laku syairku!?


Tangerang, Ramadhan 2005


Anak Peluru


Peluru yang tersemat di dada Ibu
Pecahan Mortir di kepala Bapak
Serpihan daging kakak
; kamu merindu perjamuan satu nisan

untuk Ibu, kau hadiahkan bunga api
dari korek yang kau sulut di depan tank baja


tangerang, Oktober 2005


Jakarta Sebuah Arena

Jakarta. Adalah ring tinju telapak tangan bulat terkepal
Memeprebutkan sabuk emas dari sebuah pertandingan
Yang tak pernah berakhir
Di sinilah kejantanan mata, telinga dan gerak gesit
Tangan dan kaki dipertaruhkan
Ditinju atau meninju!

Mata lebam, itu biasa
Kucuran darah. Itu lumrah.
Toh kita sudah terantuk gelas-gelas kaca
Yang dipakai bersulang para pemenang


Tangerang, Januari 2004

Ompol I

Lewat matanya, cinta datang tanpa permisi
Di kondominium hati yang baru dibangun
Di atas runtuhan bekas rumah tak berdenah di pinggir sungai

Bagai maling, ia mengendap-bersijingkat
Di ruang tamu yang baru tadi sore kusapu dari pecahan
Luka wanita yang merobek puisi sendok dan garpu

Cinta itu itu pakai cubluk, membawa ransel
Penuh jamu tolak angin dan popok bayi
Bermerk – Love undereksplosure –

Dan saat kupergoki, ia sudah dikamar mandi
Menjadi patung Selamat Datang Jakarta
Dan ia bergumam – aku siap menjadi ompolmu –



Tangerang, April 2005


Ompol II


Komuni pertama di bilik pastur
Berlanjut di bahuku, walau kau tahu
Aku bukanlah bejana
Pembaptisanmu

Mata kita berkaca, memang.
Mengharap tangan misterius Tuhan
Menyatukan arus massa dan listrik
Di alir takdir.

Sayang, sungguh.
Aku bermimpi buang air besar
Di sungai Cisadane

Tapi setidaknya
Terima kasih kau sudah menjadi ompolku



Tangerang, 2003


Betina Kopong


Ada yang lenyap dalam air teh;
Rasa bibirmu. Manis gula rendah kalori
Digerus perih bibir retak karena panas dalam

Ada yang sneyap dalam bibirmu;
Cantik itu. Lingkar cahaya lampu taman
Ditelan lolongan ajing liar.

Petang itu, gula luka tumpah saat waktu urung
Aduk dalam teh melati dan
Kau menato lukamu di bahuku.
- sosok lelaki bercinta dengan kepinding
di bawah kasur kapuk lain gubug –
termotif lewat ujung jarum

waktu yang gerimis,
menderas, mengurung tanganku
menukar sayapmu sewarna pucuk teh
yang kuyup oleh hujan
dengan baju tidur yang kuselipkan
batu mulia di sakunya.

Baik memang kujual saja bejana
Penampung bococran tangis betina
Yang kepalanya kopong.


Tangerang, September 2005


Lelaki Pemintal Benang
: Husnul Khuluqi

sesayup bisikan cinta dari sang kekasih
begitulah kamu lelaki pemintal benang
meneriaki kota yang karam di reruntuhan jam kerja
lewat corong puisi saat senja dibukukan para penyair

tapi,
sekeras jeritan orang dicambuk;
begitu juga kamu lelaki pembisik
membisiki mayat-mayat hati operator mesin bangun dari kubur
dengan puisi saat kepalan tangan meninju langit

kamu lelaki,
teruslah berbisik dan berteriak
tapi jangan lupa berteriak
karena kota ini akan padam
tanpa itu.



Tangerang, April 2005


Pelepah Pisang
: Rukmi Wisnu Wardhani


puisi betinamu sungguh buas
saat bulan tenggelam* kau kutuk
para pejantan menjadi banci tikus
yang bisa kau injak kemaluannya

tubuh penuh debu dari pertempuran perempuan Indian
yang tak menginginkan surga kiranya
menyebabkan lengkung alismu membujur kubur
saat cinta menggantung di awan dalam sebuah kondom

aku membaca sastra senja;
di putting hurufmu yang telah menghitam
sudah bukan air susu lagi yang keluar melainkan nanah
dari borok percintaanmu dengan lelaki pemegang borgol
yang selalu mengawasimu sampai ke toilet

jangan terlalu banyak bercinta dengan piranha
di sini masih ada lelaki gerimis yang siap memayungimu dengan
pelepah daun pisang kala derasnya hujan mendera antologi hidupmu


* judul puisi Rukmi WW
Tangerang, Agustus 2004



Si Botol dan Si Sepi

I. Botol Kecil berisi madu
Botol besar berisi candu
Dikocok sepi
Diteguk isi
Airnya tumpah
Botol tak pecah

Si botol tergeletak di atas pusar sepi
Tubuh wanita gemuk tengah baya
Usai dikulum mulut usia renta
Dan dihujamkan ke goa di tepi pantai
Purba, ladang garam kehidupan

II. acapkali si botol tertegun di depan cermin
menatap label cinta yang melingkari tubuhnya
berupa garis-garis putus tak berujung
atau wajah mamak yang terbuang beserta krop
hidupnya ketika diisi pertama kali oleh candu kota

“Ya, ya, ya. Botol becil berisi madu
botol besar berisi candu. Akh mamak.”
Gerutu memanggil rindu.

III. Lubang sepi adalah jawaban teka-teki si botol
Akan kuis kekosongan kantong di metropolitan
Kedatangan sepi melancarkan sendawa dunia si botol
Kualitas isi si botol mengobati penyakit gatal si sepi

“Kocoklah sepiku,
akan kureguk isi kantongku.”
Desah membuat basah.

IV. Keluar pintu pagi, si botol menyapa awan
Dengan benang kusut dari rajutan tubuh si lubang sepi

“Akh, biar air tumpah,
botol tak pecah!”
Teriak penuh kerak.


Kemudian ia meneguk kopi hitam
Tanpa pernah tahu ada kucing hitam
Menjulurkan lidah meminta bagian

Botol kecil berisi madu
Botol besar berisi candu
Dikocok sepi
Diteguk isi
Airnya tumpah
Botol tak pecah

Tapi,
Kucing hitam
Tak mau diam


Tangerang, Desember 2004


ATM
Ayu Tapi Mambu
: AYU Utami
Dinar RahAYU
Djenar Maesa AYU

I.

Seorang gadis muda bertanya pada
Seekor bandot tua di tengah kota
Tentang siapa pria!?
Bandot tua tak menjawab hanya
Menunggingkan pantatnya
Gadis muda menyimpulkan pria adalah
Binatang besar, bodoh dan tak bertulang belakang*

II.

Ada monyet bermain SMS
Menawarkan KY Jeli ke toko-toko buku
Tanpa malu ia peragakan cara pemakaian
Di tubuh Ibunya yang lugu
Sambil tersipu Ibunya bilang
“Anakku memang monyet!”

III.

Bagi Jonggi bedanya kimia dengan sastra
Adalah dari gaya rambut
Kimia bergaya rambut belah samping
Sastra bergaya rambut belah tengah
Dan ia suka sastra rambut belah tengah

Tiga dara memagut paksa benang merah dari rahim fiksi
Maka berdarahlah selaput bunda sastra
Yang menjadikan pintalan mereka
Tak mampu menyelimuti bumi

Mereka semua ayu
Tapi Mambu.



Tangerang, Jan-Feb 2004





Firdaus Oil untuk Tuan Bush


Tuan Bush nonton TV
Di TV ada iklan
Iklan minyak kumis
Minyak kumis seribu satu malam
Satu malam tuan Bush diejek istri
Istri ingin tuan Bush berkumis
Berkumis tipis pertanda jantan
Kejantanan tuan Bush diludahi

Minyak kumispun dibeli satu
Satu olesan menjelang pagi
Paginya tuan Bush sudah berkumis tipis
Kumis tipis tak cukup untuk tuan Bush
Tuan Bush beli dua
Dua tak cukup tuan Bush beli lima
Lima tak puas tuan Bush beli semua
Semua dibeli sampai pabriknya

Tuan Bush bersenang hati
Hati istrinya ingin dikejutkan
Terkejut istrina setengah mati
Setengah mati istrinya tak mengenali wajah tuan Bush
Tuan Bush melihat dirinya ke cermin
Cermin berkata sebenarnya
Sebenarnya wajah tuan Bush ditutupi kumis
Kumis seribu satu malam
Satu malam tuan Bush tertawa nonton TV
Di TV ada berita
Berita pabrik minyak kumis yang terbakar



Tangerang, April 2003


Bapak Amuk
Ibu yang paling mawar*



“Ayo nak, berteriaklah
kalahkan gemuruh kota ini dengan suaramu!”
begitulah bapak mengajarkanku
menginjak tanah menatap cakrawala

tidak ada kata interupsi di rumah ini
tulangku didaur ulang menjadi besi
dagingku digiling menjadi bubur baja
kulitku disasapi sinaran matahari

“Ayo nak, kita tanami bunga
tanah sisa di antara rangka baja kota ini.”
begitu ibu mengajakku menyalami pagi
sehabis bertengkar dengan bapak tadi malam

dia, yang paling mawar*
menyelam palung kehidupan pewaris kedalaman jiwa
dengan jari telunjuk menunjuk
negeri padi di seberang industri

pada akhirnya aku harus bersendiri
seratus hari dari bapak amuk
seratus tombak dari ibu yang paling mawar
dan menjadikan rangka baja sebagai orang tua angkatku


*kutipan puisi Solitude; SCB
Tangerang, September 2004


Bantal si Urban


“Siang sudah bolong, hentikan percintaanmu dengan bantal!”
teriak Ibu sambil menjewer kupingnya.
Tapi bagaimana ia hentikan semua ini sementara
Kota ini dirancang dan dibangun di atas bantal.

“Aku ingin punya bantal bulu angsa bu, jadi biarkan aku bercinta.”
Ibunya terdiam, lantas menangis dan kembali menceritakan
Tentang bapak yang terbunuh gara-gara memburu sebuah bantal
Peninggalan kakek yang dicuri orang.

“Jangan kau mencari bantal bulu angsa, ini bukan musim kawinnya.”
Elusan tangan dirambutnya tidaklah menyurutkan gelombang pasang
Cintanya. Melamar kota ini dengan angsa petelur emas dari istana awan
Adalah janjinya. Janji seorang pejuang bantal.

Orang-orang kota membawa bantal di atas kepala, ada yang kejatuhan bulan adapula merpati yang hinggap di bantal kepala mereka dan mematukinya. Ada bantal dari busa, kapas dan bulu angsa yang ia cari. Sementara dirinya membawa bantal kapuk randu.

Dalam kota ia dapatkan realitas dan melankolis. Bantaran sungai, jajaran rumah kardus di samping rel kereta menjadi tempat pembuangan akhir dari bantal apek kaum urban, yang sering kali menyeret bantal penghuninya jauh ke pedalaman.

Dalam hujan ia cari tetes air yang membawa kabar letak tangga negeri awan, perahu kertaspun dihanyutkan ke cemarnya sungai.
Seribu burung kertas ia terbangkan ke keluasan cakrawala, yang berhias cerobong asap, memaksa dirinya menjadi budak gurita dalam samudera peluh.

Ritual panjang mengelilingi unggun kota, tak pernah memberinya ekstase kaum priyayi, hanyalah sembab mata kaum darwis tercap dalam hidupnya.
Kemudia ia bertemu lelaki gerimis yang kerjanya mengguyur kubur.

“ Atas apa kau datang kesini?”
lelaki muda berjubah merah muda mempersilahkannya tidur terlentang menghadap kiblat.

“Bantal.”
Sambil memegang erat bantal kusutnya, ia merasa lelah. Dingin. Matanya sudahlah lima watt.

“Apa yang kau? Sudah kau dapatkan?”
lelaki itu memandikan tubuh ia. Pepat daki. Mampat jerawat.

“Bantal. Tiada bantal seenak bantal sendiri.”
Terpejam. Ia memerdekakan diri.
Lelaki itu menaruh bantal kapuk randu dikepala ia, menyangga tangga negeri awan dalam kepala yang telah memisahkan Ibu darinya. Kemudian ia menutup tubuh ia dengan jaket tanah.

Dalam tidurnya, Tuhan sedang memeluk bantal kapuk randu di atas ranjangnya.




Tangerang, Juli 2004


Mandi Kota

Aku dengar rambutmu sudah
tersentuh tangan lelaki yang mandi di kota.
Bulan sudah tidak lagi menetap di rahimmu.
Minggat ke kota enam bulan lalu
menemui perempuan yang pergi meninggalkan ranjang.

Sementara aku
masih memerankan si idiot di atas panggung dalam
lakon jas hujan di musim panas, di kepalaku tumbuh
janin dari perselingkuhan dengan masa depan.
Ya! Jarum jam memang tak bisa menunggu.
Rahimmu sudah mendidih guna
merebus singkong di malam musim penghujan.

Demi masa.
Akan kutaklukan kota yang
menghadirkan lelaki di tubuhmu.



Tangerang September 2004.


Ruh Merindu
: Lela

Karena kamu,

Adalah ruh yang gentayangan
Dibias lampu merkuri jalan dan meja kantor

Adalah ruh yang gentayangan
Mencari penawar untuk kembali ke surga

Maka kamu,

Adalah ruh yang merindu
Pematang sawah di senja hari

Adalah ruh yang merindu
Kicau burung pipit dan kelinci putih
Yang menemani saat minum teh poci

Datangilah malam yang membuatmu terlelap tidur
Dalam gerak lembut bintang membelai rambut
Dan temuilah ari-ari yang kau campakkan di bawah damar
Semenjak kau menghitung umur.


Tangerang, 2003


Dentum
Ost kuningan 9/9

Di kuningan keheningan retak dan pecah
Alarm weker berdentum keras
Kucing hitam mengamuk memporakporandakan seisi rumah
Adik menangisi boneka kesayangan tinggal telinga
Ibu menjerit vas bunga berserakan dalam kubur
Bapak amuk dendam di bawah perut
Saudara melayat di balik layar TV

- Matikan weker
karungi kucing hitam
agar tak ada cerita horor di hari libur –
katamu; amarah menghajar angin

Di luar kuningan
Ratusan weker siap membangunkan kucing hitam


I Love Friday


Begitu indahnya jum’at. Deru mesin penghisap debu
ditelingaku seperti musik dangdut yang mengairahkan
kembali otot dan otakku, setelah lama dipenjara
rutinitas sembilan jam sehari, empat puluh jam seminggu.

Begitu lengkingan sirine tanda pulang menyeruak ruang dalam sekat kepalaku
Aku teringat kepadamu akan janjiku untuk menemanimu
dalam malam di sebuah bioskop yang memutar film – French Kiss –
yang ingin sekali aku menjadi aktor utama di dalamnya.

Memburu waktu, aku pakai kembali jiwa seorang tahanan keluar dari bui.
Kususun kembali rencana penjajahanku akan bibirmu yang penuh rempah-rempah cinta, dibalik benteng sehelai jilbab yang belum bisa aku taklukan dalam
hitungan tiga bulan ini.

Aku cinta Jum’at.
Inilah denahku – setelah membuka pintu maghrib di sabtu pink – aku keluar kamar menjadi seekor kelinci putih yang imut – meloncat di tiga pekarangan tetangga dengan pelan – setelah sampai di pintu kontrakanmu dan kau keluar – kuberi kau setangkai bunga Bank dan aku berkata “Ayo kita mandi” – kau pun setuju – kita berdua pergi ke bulan.

I Love Friday.
Meskipun aku harus gigit kantung baju seragam kerjaku.




Tangerang, Agustus 2004




R.U.P
(Rahasia Umum Pekerja)


di areal toilet, papan peringatan
- NO SMOKING, NO NAKED LIGHT -
hanya berlaku di papannya saja
ketika pintu toilet di tutup, hanya ada aku
puntung rokok sisa tadi pagi dan
burung kutilang yang sedang berlatih orasi
guna unjuk rasa malam nanti


Tangerang juli 2004


Cintamu Reject


Istirahkan cinta sayang, dari rutinitas kerja sembilan jam sehari
karena aku tak bisa terus mencetaknya dengan mould yang sudah kadarluarsa. Targetku adalah kualitas bukan kuantitas yang telah membungkam
keinginanku untuk bersendiri.

Kakiku terlalu lelah berdiri dan tangaku pegal
selalu kau suruh menghaluskan cinta yang kasar dengan air pengorbanan dan
pisau kejantanan yang karatan, sedang kau mengongkang kaki di depan tebal dan rumus mencari laba.

Tahukah kau sayang, selama ini aku menerima keluhan dari
konsumen di luar sana tentang mutu cinta yang kau berikan kepadaku.
Mereka bilang ; Cintamu Reject!


Tangerang, Juli 2004


Children Of Heaven*
Anak-anak surga

Anak lelaki dengan selusin mendung seberkas sinar di atas aspal
berlari mengejar sepasang sepatu
buat adik perempuannya yang bertelanjang kaki
pergi ke sekolah

Surga memberinya hadiah;
Ikan mas di kolam yang memaguti luka
di kakinya



Tangerang, Februari 2004



CINTA, CINTA DAN CINTA


Jika kau jatuh cinta;
SIAPKAN KOPER DAN ISINYA
Jika kau kasmaran;
MINUMLAH JAMU TOLAK ANGIN
Jika kau putus cinta;
BERAKLAH!



Tangerang, Maret 2004



Pelayat Matahati


Kembali kau melayat
aku dipekuburan waktu
Dengan isak rindu di samping
nisan kenangan kita yang kusam

Sucikah airmatamu
Hingga bisa membangkitkan
tubuhku dari masa lalu
Yang telah menyayat kejantananku!?

Atau bersihkah lidahmu
yang merapal azimat perindu
sebagai 250 hari
pada hati yang dikafani?

Aku kira kita sudah sepakat
Menjadikan cinta sebagai mayat



Tangerang, Januari 2004


Kerikil Yang Menggelombangkan Bayang


Jatuhan kerikil ke dalam air
Menggelombangkan bayang sekujur tubuhmu
Yangs edang bermain dengan ikan dan belut
Di antara batu dan rumput

Mataku terpicing
Saat buti-butir air menampar
Pori-pori kulit wajah yang
Tadi memandangmu tuk sejenak

Bersama tetesan hujan bulan maret
Yang tersaring zat hijau daun kamboja
Biasan cahaya datang membawa pesan Ibu alam
- pergilah ke arah Barat! -


Tangerang, Maret 2003


Kado Buat Pemimpin


Aku kirmkan
Tulang lengan kananku
Yang kugores lurus dengan belati
Kepadamu



Tangerang 2002



Rahasia Malam Lebaran*


Kuburan siapa terlihat di bulan
Waktu malam lebaran
Hanyalah maqam orang asing di surga
Yang memaknai bulan sebelum



Tangerang, Maret 2003
*Judul Puisi Sitor Situmorang


Rajahku
: SCB

manteramu taring kucing
manteraku telinga kelinci
bersimbah keringat di atas panggung
imajimu daging dihantam kapak
imajiku kapak menghantam cermin
segala rasa segala cara
segala ada mula dari tak ada
mengapa tak kudapat kucing
dalam sangkar yang menggantung
dari manteramu

ini rajahku
segala kembali pada mula membaca



Tangerang Februari 2004

its, me!

Followers