Kamis, 28 Februari 2008

cerpen

Senyum Vagina
Karya Bayan Sentanu

Vagina yang hitam manis. Vagina yang berambut lebat.Vagina yang bisu.Vagina yang lakunya agresif. Vagina yang kalau tertawa nampak gigi putihnya berbaris rapi…

Dia meminta Merti mengangakan mulut dan menjulurkan lidah, lantas ia mengeluarkan senter kecil dari saku baju kerjanya dan menyorotkannya ke dalam rongga mulut Merti. Sesudahnya ia tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.
Merti membalas senyuman itu.
“Jadi aku benar-benar pulang hari ini!? Aku akan merindukan rumah sakit ini dan… kamu tentunya.” Mata Merti sembab menitikan air mata. Air hangat itu diusap jemari Vagina sambil menggelengkan kepala. Gadis itu mengeluarkan blok note dan sebatang pena. —Jangan menangis, kita bisa bertemu lagi kok, seperti Dimiter dan Verstephany. Hubungi aku kalau sudah sampai di rumah-- tulisnya.
Bagi Merti, Vagina bukanlah perawat biasa, ia adalah dokter yang mampu melampaui kemampuan para dokter di rumah sakit itu. Ia lebih mujarab tinimbang obat-obatan yang dikonsumsinya. Ia adalah….
Muncul seorang lelaki paruh baya di ruangan itu, ia mendekati ranjang dan mencium kening Merti. Lantas ditatap dan sapanya Vagina dan ia menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Vagina menyambutnya, disertai senyuman itu tentu saja. Lelaki itu bernama Hudas, dan ia adalah suami Merti.
Hari itu adalah hari kepulangan Merti dari rumah sakit setelah tiga bulan dua minggu satu hari terbaring karena stroke yang dideritanya. Ia ditempatkan di paviliun Srikandi, ruang rawat inap kelas satu.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Hudas pamit pada mereka berdua untuk menyelesaikan urusan administrasi perawatan Merti. Ditutupnya pintu ruang itu dengan pelan sampai suara pintu terkancing nyaris tak terdengar.
Merti menyapukan tatapannya ke seluruh sudut ruangan itu. Untuk kemudian mengalihkan pandangannya pada Vagina.
“V, kamu masih ingat saat kita pertama kali bertemu?” Seraya menyunggingkan senyum. Vagina mengiyakan dengan anggukan kepala dan ikut tersenyum. Merti mulai mengurut ingatannya.
Merti ingat saat ia siuman, Vagina bermaksud hendak mengganti bantal yang dipakai Merti, dan untuk itu ia harus mengangkat kepala Merti. Saat mengangkat kepala Merti itulah buah dada Vagina mengangkang tepat di wajah Merti. Ketika Merti membuka matanya, yang pertama dilihat ialah payudara gadis itu. Sontak ia kaget.
Tak sanggup berbicara, Merti mengerang lirih tanpa kuasa bergerak. Vagina menyadari Merti sudah siuman, kontan ia mundur. Disodorkannya secarik kertas pada Merti. –Maaf, saya bermaksud mengganti bantal Anda-- tulisnya. Merti membacanya dan ia pun mengedipkan matanya, Vagina mengerti arti kedipan Merti, ia melanjutkan pekerjaannya.
***
Saya punya cerita, mau dengar?-- tulisnya di blok note. Merti menganggukan kepala, walau ia tak tahu dengan apa Vagina akan bercerita. Vagina minta Merti bersabar dengan mengangkat kelima jari kanannya, lantas ia masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudian pintu toilet terbuka disusul longokan kepala di kusen pintu. Merti agak terkejut saat ia melihat bukan wajah Vagina yang muncul, melainkan wajah berkacamata bulat, berhidung besar, berkumis lebat dan panjang.
Untuk sesaat wajah itu timbul tenggelam di kusen pintu.
“Sedang apa kamu di situ?” tanya Merti dengan sedikit senyum. Tapi wajah itu tetap seperti tadi. Beberapa kali Merti menyebut nama Vagina. Tapi tak diresponnya. Kecemasan merambati benak Merti, ia mulai berpikir macam-macam.
“Kamu jangan main-main, saya takut.”
Sesudah ucapan Merti tadi wajah itu tak nongol lagi. Beberapa saat Merti terdiam dengan perasaan was-was, untuk kemudian dari bawah kusen pintu yang sama muncul kaki perempuan. Awalnya telapak kaki, betis, dan akhirnya paha, di pergelangan kakinya terpasang kerincingan.
Merti melongo disuguhkan hal seperti itu. Telapak kaki itu berputar ke kanan, pelan. Berputar ke kiri, pelan juga untuk kemudian tak bergerak. Perlahan, kaki itu bergetar dan kerincingan mulai mengeluarkan bunyi. Merti semakin tak mengerti dengan apa yang dilihatnya. Rasa takut, penasaran, berkumpul menjadi satu. Ada keinginan Merti mendekati kusen pintu itu dan mencari tahu, tapi kondisi badannya yang masih lemah menjadi alasan mengurungkan niatnya.
Seperti wajah tadi, kaki itu pun perlahan menarik diri ke balik pintu. Merti memanggil kembali Vagina, tapi tetap tak ada tanggapan.
“Kalau kamu tidak kemari, aku mau tidur.” Tukas Merti sedikit mengancam. Walau begitu, ucapannya tak lain hanya sekedar untuk mengenyahkan rasa takutnya. Dia memindahkan pandangannya ke eternit kamar yang putih.
Di sana, wajah Hani, anak perempuannya memabyang. Dua puluh dua tahun ia membesarkan gadis itu. Belum lengkap ia bahagia sebagai seorang Ibu dengan sebuah pernikahan anaknya. Hani sudah divonis mati dengan lebam disekujur tubuhnya. Hasi dari sebuah demonstrasi.
Sejak kematian Hani enam bulan lalu itulah. Merti sudah dirawat di rumah sakit dua kali dengan sebab yang sama. Stroke. Tubuh perempuan itu menjadi begitu lemah jika dihadapkan dengan kenyataan pahit yang telah menimpanya. Seperti sekarang ini, ia tak kuasa mengendalikan air matanya dengan hanya membayangkan wajah Hani.
Rasa takut yang tadi sempat terusir oleh bayang wajah Hani, kini menyeruap kembali manakala dari dalam toilet, sebuah ketukan pintu merambat menjadi tetabuhan. Diiringi separuh badan menyembul dari kusen tadi. Bertelanjang dada, sementara bawahannya memakai kain putih berbelahan tengah.
Di sana, pemanpakan sosok itu kian jelas. Dengan wajah yang tadi, sosok berambut itu meliuk-liuk, menari mengikuti irama tetabuhan. Kulit sawo matangnya nampak jelas diterangi lampu neon. Lidahnya menjulur sedikit dijepit bibir tipisnya. Yang membuat Merti mendelikkan mata adalah payudara sebesar buah pir sosok itu dihiasi sebentuk mata, bukan putting.
Tetabuhan dan suara kerincingan seirama dalam satu ketukan nada.
Kian lama gerakan tubuh sosok itu lebih menyerupai gerakan erotis dari pada sebuah tarian. Pahanya disandarkan ke tembok, dengan telapak tangan menempel ke kayu kusen, tubuhnya naik turun. Gerakannya seperti belut berenang. Di ranjang, Merti mengamati postur separuh tubuh itu. Rambut sebahu, bibir tipis, kulit sawo matang, dan buah dada yang mungil. Ia tersenyum.
Cukup lama adegan itu berlangsung, untuk kemudian separuh tubuh itu pun masuk kembali ke dalam toilet.
Merti yang mulai yakin bahwa sosok itu adalah Vagina dari postur tubuhnya, tidak lagi merasa takut. Ia malah tertarik untuk mengikuti alur, dan ia mulai menerka-nerka cerita yang dimaksudkan Vagina sebelumnya. Kehadiran wajah bertopeng paman Doli, kaki dengan kerincingan, dan sekarang separuh tubuh itu dengan mata di payudara. Kini yang dilakukan Merti adalah menunggu potongan fuzzle berikutnya dari Vagina.
Masih dengan kostum itu, Vagina muncul dari dalam toilet, berdiri di depan pintu, untuk kemudian merentangkan tangan seperti sayap, dan telapak kaki disilangkan, dijinjit. Vagina berputar dan melakukan gerakan burung terbang mendekati Merti.
“Kau konyol, V,” sela Merti. Tapi Vagina terus bergerak, kini ia melakukan gerakan looking around dengan meletakkan tangan kanannya menyamping di pelipis matanya, silih berganti kanan dan kiri. Apa yang kau lihat, V?—batin Merti memaknai gerakan Vagina.
Vagina berdiri di samping Merti. Ia menyapukan telapak tangan kanannya ke wajah Merti, tapi tidak menyentuh, hanya mengangkang. Mata Merti mengikuti gerak jemari seperti kibasan ekor ikan itu. Selesai dengannya Vagina beranjak ke depan ranjang. Tetap dengan gerakan gemulai. Di sana, ia memeragakan seseorang yang hendak memanah. Tali busur itu ditarik dengan anak panahnya dari atas, busur dan talinya meregang lantas di arahkan ke dada Merti, dan…
Lampu dalam paviliun itu padam dua puluh menit kemudian, terlihat Vagina keluar darinya dengan seulas senyum.
Cahaya mentari merembes ke balik gorden dan menerpa sebagian wajah Merti. Ia pun terbangun, mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak ada orang di sampingnya, Vagina yang selama ini selalu hadir sebelum ia bangun tidur, tak nampak pagi itu. Hudas sang suami tak menginap menemaninya karena ia sedang ada tugas penting dari kantor sejak sehari yang lalu. Semua keperluan Merti dipercayakan pada Vagina. Dokter Apollo datang hanya pada jam pengecekan saja. dan pagi itu adalah pagi ke 82 Merti berada di rumah sakit itu.
Menatap ke langit-langit ruangan, Merti menerawang mengingat peristiwa tadi malam, ia yakin itu bukan mimpi. Adegan terakhir yang diberikan Vagina adalah ia memainkan tubuhnya yang dihiasi kumis tebal paman Doli. Dimonyongkan, dilebarkan, dan gerakan lain yang bagi Merti sangat jelek dan membuat bergidik.
Vagina. Mulutnya lentur, kulitnya agak gelap, berkumis lebat, dan bergigi putih. Dari deskripsi itu Merti teringat sesuatu, mendadak ia tersenyum.
“Vagina bergigi?” Senyumnya mengembang menjadi tawa.
***
Buku itu untukmu—tulis Vagina, saat merti hendak mengembalikan buku dewi Balbao yang dipinjamkan Vagina sebulan yang lalu. Buku tentang dewi penari perut: Balbo. Sosok serupa perempuan yang bermulut bibir Vagina dan bermata di payudara. Dari mulutnya itu lelucon-lelucon keluar dan menghibur Dimiter kembali pulih dan meneruskan pencariannya. Hal ini mengundang rasa simpati dewa-dewa untuk membantu Dimiter.
Merti tersenyum lantas memeluk Vagina. Tak lama Hudas masuk ruangan dan ia berkata bahwa semua urusan administrasi sudah selesai. Ia pun membereskan barang-barang Merti. Mereka bertiga keluar paviliun, berjalan di lorong menuju pintu keluar rumah sakit.
“Pah, tahu tidak, sebenarnya aku sembuh bukan karena obat lho, pah. Tapi karena Vagina.”
“Oh ya!?” Hudas dengan nada datar menanggapi ucapan istrinya.
“Papa gak tahu sih, nanti aku ceritakan di rumah,” ucap Merti sambil melirik Vagina. Ia membalas dengan senyuman, mengerti maksud Merti.
Di tengah perjalanan, Vagina pamit, alasannya hendak ke ruangan dokter Apollo. Setelah berpelukan, mereka pun berpisah.
Barang-barang sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil, Merti sudah duduk di kursi depan, penuh senyum. Mendadak Hudas minta ijin hendak kembali ke paviliun. Ada yang tertinggal alasannya. Ia pu bergegas pergi ke sana.
Tapi sebenarnya Hudas tidaklah menuju ruang rawat inap itu, ia berbelok ke arah berlawanan, ke ruangan V. Meliahani: Psikolog.
“Terima kasih atas bantuannya, dok.” Hudas menyodorkan telapak tangan kanannya.
“Sama-sama,” balas Vagina menyambut jabatan tangan itu.

Balai Budaya Tangerang, Oktober 2005

Comments :

0 komentar to “cerpen”