Sabtu, 02 Mei 2009


Serang- Diakhir acara Beckett's Parade (30/4), para pekerja seni yang terlibat di dalamnya membuat kejutan, dengan mengeluarkan sebuah Manifesto Serikat Seni Pertunjukan (di) Banten. menurut Mahdiduri selaku ketua pelaksana, manifesto tersebut ditujukan sebagai sebuah gerakan moral dalam menyikapi persoalan Taman Budaya Banten yang sampai saat ini pembangunannya terbengkalai. Manifseto tersebut berisi beberapa poin tuntutan, berikut isi manifesto Serikat Seni Pertunjukan (di) Banten:

MANIFESTO
SERIKAT SENI PERTUNJUKAN (di) BANTEN
Seolah ingin mengejar ketertinggalan dari wilayah lain di Indonesia, Banten sebagai provinsi baru, begitu gencar membangun infrastruktur pemerintahan. Pembangunan yang dipusatkan di KP3B yang terletak di Desa Curug-Serang, diproyeksikan menjadi sebuah wilayah kebanggaan elit birokrasi. Dalam cetak birunya, pembangunan infrastruktur KP3B berisi seluruh kantor Dinas Pemerintahan Provinsi Banten, Mesjid Raya dan juga termasuk di dalamnya Taman Budaya Banten (TBB).
Terkait dengan TBB, setelah mengamati wacana pembangunannya lewat berita di media dan artikel-artikel terkait. Nyatalah ada sebuah kontradiksi pemikiran antara para birokrat dengan pihak seniman. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan masih memandang kesenian sebagai momok yang menjijikan sekaligus tak berguna. Bagi mereka, kesenian tidaklah menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), hanya menghabiskan anggaran!!!. Mereka lebih asyik-masyuk dengan bidang-bidang yang mampu mendongkrak pendapatan kas Negara, serta bidang-bidang yang bisa dirasakan hasilnya secara instan.
Sementara itu, betapa kebutuhan tempat pertunjukan begitu tinggi dirasakan para pekerja seni. Sampai saat ini, para pekerja seni teater, musik, senirupa, sastra, tari harus terus berjuang di pojok-pojok kota, bergerilya menghidupkan keseniannya dengan sedikit sekali sentuhan dari pemerintah. Fasilitas, bantuan alat kesenian ataupun dana pengembangan dirasakan begitu sulit di dapatkan oleh komunitas kesenian, yang nota bene juga bagian dari elemen masyarakat yang memiliki hak.
Begitu banyaknya produk kebudayaan di Banten yang memerlukan ruang representatif agar lebih bisa dikenal dan dihargai. Mana mungkin produk kesenian bisa dikenal jika tidak ada tempat untuk repertoar karya-karya seni masyarakatnya. Dalam konteks ini, kemaujudan Taman Budaya (di) Banten sangat multi fungsi. Pertama, TBB sebagai wadah apresiasi kreatif masyarakat dan pengembangan budaya di daerah. Berdirinya TBB akan memudahkan masyarakat dalam mencari lokasi pertunjukan kesenian. Saat ini, bisa dipastikan masyarakat (lokal/luar) tidak tahu harus kemana jika ingin menonton Ubrug dengan jadwal pentas tetap misalnya.
Kedua, TBB sebagai mercusuar pencitraan wilayah. Dimanapun, budaya lokal yang terejawantahkan lewat kesenian selalu dikedepankan dalam publikasi massa untuk menarik wisatawan. Pengemasan kesenian berkualitas dengan menempatkannya dalam sebuah ruang yang layak dan berstandar internasional, tentunya akan meningkatkan nilai jual (Citra) Banten di mata dunia.
Atas dasar itu, sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak, kami yang tergabung dalam Serikat Seni Pertunjukan (di) Banten dengan ini:
1. Menuntut percepatan pembangunan Taman Budaya Banten, sehubungan dengan rencana pembangunan TBB diakhirkan pada tahun 2012.
2. Menuntut dalam pembangunannya harus memenuhi standar gedung pertunjukan, jangan sampai terjadi disfungsi. Mengingat disain gedung utama kesenian dalam TBB saat ini, lebih mirip gedung serba guna.
3. Menuntut dalam pengelolaannya ke depan, segala hal terkait pemakaian dan penentuan harga sewa harus dibicarakan dengan pihak pekerja seni atau yang mewakilinya. Kami menganggap hal itu perlu dilakukan, supaya jangan sampai biaya sewa untuk komunitas kesenian terlalu tinggi atau memberatkan.
4. Menuntut lewat Pemerintah Provinsi agar mewajibkan seluruh pemerintah daerah Kab/Kota di Banten, membangun gedung kesenian. Hal ini untuk memberikan pemerataan fasilitas bagi komunitas seni yang banyak terdapat di wilayah masing-masing.
5. Sebagai solidaritas, kami meminta pada para pekerja seni di seluruh wilayah Provinsi Banten. untuk mendesak pemerintahan provinsi dan DATI II agar memenuhi hak pekerja seni sebagai bagian masyarakat dan salah satu penjaga gawang kebudayaan.

Banten, 30 April 2009
1. Mahdiduri -Microphone The Read Art Kab Tangerang
2. Ifan Darmawan -Teater Kain Hitam Kota Serang
3. Ahmad Wahyuddin -Teater AnonimuS Kota Serang
4. Joe WK -Teater Wong Kite Kota Cilegon
5. Irwan Sofwan -Teater Kini Kota Serang
6. Jono -Teater Kunci Kota Cilegon
7. Roni M. Khalid -Teater Warakala Kab Serang
8. Puji -teater Gates Kab. Lebak
9. Eri Hanibal -Teater Wajah Kota Serang
10. B'jo - B'jo Stage Bandung
11. Diki Chan - Akustik Kota Serang
12. Purwo Rubiono -Bantampolis Jazz Kota Serang
13. Nugraha - Kubah Budaya Kota Serang
14. Budi Harsoni - KPJ Rangkas Bitung Kab. Lebak
15. Husnul Khuluqi -Komunitas Sastra Indonesia(KSI)Tangerang
16. Dedi HS - WKS Kota Serang
17. Aru Adam -Al Kausar Kota Serang
18. Mamah Imas - Sanggar Panglipur Kota Serang
19. Eky Jagur - Teater Cakrawala Surabaya
20. Piyan Yusdiyana - Kafe Ide Kota Serang
21. Nana Rusyana -Teater Wajah Kota Serang
22. Uly -Teater Wajah Kota Serang
23. Maya -Raksa Budaya Kota Serang
24. Bagus S - Belistra Kota Serang
25. Indah Purnama -Hima Diksatrasia Kota Serang
26. Wahyu Arya Wiyata -Kubah Budaya Kota Serang
27. Fitri -Teater Bale Pandeglang
28. Asih - Sanggar Selebriti Kota Serang
29. Anne -Teater Studio Indonesia Kota Serang
30. Ibnu PS Megananda - Penyair Kab Serang
31. Ade - Sanggar Tari Kota Serang
32. Benni Kusnandar - Wanda Banten Kota Serang
33. Adhy Hendrayana - Sanggar Embun Kota Serang
34. YB Roy - Perupa Bunderan Kota Serang
35. Dadi RSN - Teater 110 Kota Serang
36. Fitraloka -Teater Warakala Kab Serang
37. Solahuddin -Gesbica Kota Serang
38. Tineung Arum - Raksa Budaya Kota Serang
39. Asep Yanto -teater Lamac Kab Serang
40. RB Percussion Art Kota Serang
41. Rampak Badar Sila Kota Serang
42. Kusmiati -Gentra Budaya Kota Serang
43. Serin -Teater Kramat Kab Serang
44. Kampong Kaujon Kota Serang
45. Joni - Musik Basic Kab Serang
46. Tineung Arum - Raksa Budaya Kota Serang
47. Aden Hermawan -Teater 110 Kota Serang
48. Raffy -Gesbica Kota Serang
49. Solahuddin -Gesbica Kota Serang
50. Iyank -Gesbica Kota Serang
51. Desi Indriyani -Teater Studio Indonesia Kota Serang
52. Choky -Gesbica Kota Serang
53. Wayang -Kuku Semar Kota Cilegon
54. Zen -Untirta Kota Serang
55. Iroh -Saija Adinda Kab Serang
56. Rohaendi -Sanggar Ciwasiat Kab Pandeglang

Minggu, 01 Maret 2009

Cerpen NUNOLO


NUNOLO; LAKU SI TOLOL
Oleh Bayan Sentanu

“Masih sanggup?” Tanya Uwo sesaat setelah melihat Adi menghela napas panjang dengan wajah meringis. Adi hanya mengangkat tangannya sedada, Uwo mengerti dengan gestur itu, lantas ia pergi ke meja di depan mereka. Ia menjumput sebotol air mineral dan memberikannya ke Adi.
Uwo mengajak Adi duduk di gawir panggung. Setelah membuka tutupnya, Adi menenggak air itu sampai habis setengah botol. Uwo memerhatikan kelelahan yang nampak di wajah kawannya itu, ia melihat jam tangannya yang digeletakkan di samping tas kecilnya, jarum jam sudah menunjuk angka 12.23. Uwo membuang pandangannya ke luar jendela. Tiba-tiba ia tertawa sesaat sesudahnya.
“Kenapa?” Adi merasa heran dengan kelakuan Uwo.
“Tidak. Aku hanya ingat Gogo dan Didi ” Uwo menjawabnya sambil mesam-mesem.
“Ada apa dengan mereka?”
“Mereka itu tolol sekali ya. Menantikan dan melakukan sesuatu yang tidak jelas. Seperti….” Uwo terdiam, dilanjutkan dengan telunjuknya mengarah bergantian ke mereka berdua. Adi menyambutnya dengan tersenyum, begitu pun Uwo, melanjutkan tawanya. Suara mereka menggema di ruang pentas itu.
Selama satu menit, mereka berdua tenggelam dalam gelak tawa. Bagi mereka, lakon Menunggu Godot yang pernah dipentaskan, telah memberi kesadaran tentang pilihan hidup menjadi aktor panggung. Sebuah pilihan yang tak masuk akal sebenarnya. Setidaknya di mata masyarakat pada umumnya. Pernah sekali dalam sebuah workshop teater, waktu itu Adi sebagai pembicara ditanya soal pilihannya di dunia panggung. Adi hanya menjawab – teater telah menjadi napas – sebuah jawaban yang membuat penanya semakin bingung.
Uwo mengambil handuk kecil coklat di tas dan menyampirkan ke bahunya
“Sebentar ya, aku mau ke toilet dulu”
Adi hanya mengangguk. Uwo menuju pintu yang ada di sebelah kiri panggung. Adi kembali menenggak air dalam botol, untuk kemudian, pandangannya disapukan ke seluruh bagian gedung pertunjukan. Tiba-tiba ia merasa asing dengan gedung teater milik kelompoknya itu.
Tirai panggung, rangka besi penahan lampu sorot, ruang peƱata lampu, tempat duduk penonton bahkan panggung yang sedang Adi duduki, dirasakan begitu ganjil malam itu. ia merasakan hawa dingin mulai merambat ke tubuhnya. Apa yang dirasanya, mendadak mengingatkannya pada Vasili, tokoh aktor tua dalam lakon Nyanyian Angsa.
“Inikah yang sebenarnya kau rasakan Vasili? Kesenyapan dan kegetiran hidup di atas panggung di akhir hidupmu?” batin Adi menyeruak gumaman kecil.
”Kini kita sama-sama tua” dilanjutkan dengan senyum miris.
Mendadak, Adi berdiri. Diambil dan diseretnya sebuah kursi yang ada di wing kanan ke tengah panggung. Setelahnya ia menuju ruang lampu, dan menyetel satu lampu yang menyoroti bagian tengah panggung. Selebihnya lampu lain dimatikan.
Ia pun memulainya. Dengan hanya mengenakan kaus putih oblong dan celana pangsi hitam, ia keluar dari kegelapan menuju bagian tercahayai. Rambut panjang penuh uban yang kusut dan wajah pasinya, kian menyempurnakan kegetiran hidup yang sama antara Vasili si tokoh dan Adi sebagai aktor.
Dengan berlagak mabuk, ia memanggil Yeghorka dan Petruskha beberapa kali, tapi tidak ada jawaban dari ruang manapun. Hanya gema yang menyahut dan hawa dingin menusuk tulangnya yang tua.
“Apa yang kau katakan pada saat seperti ini Vasili? Oh ya, kau berkata; angin yang berhembus di gedung teater ini seperti keluar dari terowongan batu…eh…iya, ini tempat hantu…”
Kalimat demi kalimat meluncur terpatah-patah. Pasalnya, Adi mengucapkan dialog Vasili seingatnya. Terlebih pada dialog-dialog panjang. Meski begitu, ingatan Adi cukup bagus tentang alur cerita Anton Chekov itu.
Pada saat masuk dialog Nikita*) si tokoh pembisik, Adi berlaku seolah-olah ia sedang berhadapan langsung dengan Nikita.
- Ah, Nikita!? Cobalah pikir, mereka menyeruku 16 kali. Mereka memberiku tiga bungkus bunga dan banyak lagi benda-benda yang lain. Antusias mereka sudah melonjak-lonjak….eh… Namun tiada sebuah hatipun datang setelah pementasan selesai, untuk membangunkan orang tua yang malang ini dan membawanya pulang ke rumah. Dan aku, akulah…orang tua itu Nikita! Usiaku telah 68, sakit-sakitan lagi dan aku tak punya harapan lagi untuk hidup- Adi terduduk dan tersandar lemah di kursi kayu itu sambil menangis.
Tanpa disadari, tingkah laku Adi tengah diperhatikan oleh Uwo di pintu kiri panggung, diselimuti tirai hitam, Uwo menyembunyikan diri. Ia tidak ingin mengganggu ekstase yang sedang dialami kawannya itu. Uwo menyadari betul bahwa dialog Vasili yang diucapkan Adi tadi, sebenarnya adalah ungkapan kegelisahan Adi yang paling dalam. Kemiripan jalan hidup Adi dengan Vasili, dirasa Uwo bukan hanya perkara kebetulan, melainkan seperti sebuah peranan yang harus dilalui Adi dalam kehidupan nyata.
Di panggung, Adi mencoba bangkit dan melanjutkan peranannya. Tiba-tiba ia menghentakkan kakinya dan menyuruh Nikita mengambil peran Si Tolol . Dalam bayangannya, Nikita sedang merapal doa dan menyipratkan air suci. Adi bertolak pinggang dan melontarkan potongan dialog Hamlet
- Oh, para pencatat, biarkan aku sendiri! kembalilah kalian! Mengapa kalian bermaksud mencari bauku! Sehingga kalian masuk dalam jebakan!-
Detik itu juga ia tertawa. Ia merasa semakin bergairah, hingga pada satu bagian karena terbawa emosi, ia mengucapkan dialog dengan lantang sambil berdiri di atas kursi.
-Tetapi betapa jeniusnya aku. Aku tidak bisa membayangkan kemampuanku. Betapa fasih, bagaimana menariknya aku, betapa peka dan betapa hebatnya tali senar menggetar di dalam dada ini. Sungguh berdebar perasaanku memikirkannya! Dengarlah sekarang! Tunggu, biar aku tarik napas dulu. Ya, sekarang dengarkanlah ini: berlindung darah Ivan…-
Dialog itu tak terselesaikan. Adi memegang dadanya. Ia batuk keras dan panjang sekali. Ia terduduk di kursi, wajahnya memerah, otot-otot perutnya menegang yang menyebabkan perutnya juga sakit. Ia meraih botol air berisi tinggal seperempat di gawir panggung dan segera meminumnya hingga ludes.
Dengan maksud mengurangi deraan batuk itu, Adi terlentang dilantai sambil tatapannya mengarah ke atas. Ia mengatur napasnya. Sesaat ia merasa tenang untuk kemudian batuk itu menerjang kembali.
Di puncak kesakitannya, ia seperti orang sujud dengan tangan memegangi perut, wajahnya kian merah padam dengan urat-uratnya yang menonjol. Dalam beberapa kali batuk, cairan merah keluar dari mulutnya.
Sambil terus mendengarkan suara batuk, Uwo tetap bersembunyi dibalik tirai. Ia berpikir bahwa akting Adi malam ini sungguh luar biasa.
“Betul-betul Realis!” batin Uwo.
Satu menit berikutnya, keadaan menjadi hening. Uwo merasa janggal dan tiba-tiba ia teringat sesuatu
“Kok, ada adegan batuk?”
Menyadari sesuatu terjadi, ia bergegas masuk panggung dan betapa terkejutnya ia. Dilihatnya Adi sudah terkapar dengan darah di mulut. Ia menampar pelan pipi Adi, namun tidak ada respon, lantas ia menempelkan telunjuknya ke hidung Adi, tidak ada napas yang keluar. Uwo mulai gusar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ada orang yang membantunya, namun sia-sia.
Untuk meyakinkan dirinya, Uwo menempelkan telinganya ke dada Adi. Terdengar degup jantung, lemah sekali.



Penulis anggota Komunitas Sastra Indonesia dan Teater AnonimuS

Minggu, 15 Februari 2009

Banten Nightingale

Banten Nightingale

Cerpen Dark Blues Piaggio Biru


Oleh Bayan Sentanu

Suka duka kita tidaklah istimewa//karena setiap orang mengalaminya//*

Di atas vespa biru yang melaju, Adi mengurai air mata. Sesekali berteriak. Parau suaranya terjepit deru kendaraan dan pekat malam.
Adi menghentikan laju Vespanya tepat di tengah jembatan kali Cidurian. Ia mendongakan kepala, menatap mendung yang memampati langit. Dengan mata yang terus saja menyimbahkan air, ia beranjak ke tepi jembatan. Di sanalah ia berteriak sekeras-kerasnya, tanpa memedulikan beberapa pasang mata yang terpancing teriakannya. Gerimis menghujan menambah lebam hatinya.
***
“Kemana saja kau seniman?” Tanya Dillah sesaat setelah Adi memarkirkan Vespanya.
“Kenapa? Kau tak senang aku pulang!?” Adi menjawabnya disertai kembang senyum dibibirnya.
“Ternyata masih sama” Dillah menyodorkan telapak tangannya.
Adi pun menyambangi jabatan itu. kemudian dia masuk ke dalam rumah dan menyalami Ibu dan adik-adiknya. Di keluarganya, Adi sudah dianggap ‘Anak hilang’ karena dia sudah jarang sekali pulang. Jika Adi pulang tentulah ada urusan penting saja, pikiran seperti itu sudah tertanam di keluarganya.
Sore harinya, di amben di tempat pengajian di samping rumahnya, Adi bersendiri, sambil sesekali menyeruput kopi Mocacino di gelas kaca. Pikirannya menerawang kemana entah, hal itu Nampak dari matanya yang menatap kosong daun pohon jambu milik tetangga
“Kau baik-baik saja?” Tanya dillah yang muncul dari samping kanannya. Kemunculan Dillah yang tiba-tiba itu sedikit mengagetkan Adi.
“O..kamu. aku baik saja” jawab Adi sambil melirik Dillah sejenak, untuk kemudian pandangannya kembali ke daun jambu. Awal percakapan sore itu adalah percakapan patah, Tanya jawab terjalin dari kalimat-kalimat pendek yang keluar dari mulut keduanya. Setelah sedikit basa basi sekitar aktifitas keseharian, hening menyergap.
“ Aku punya mimpi. Seperti kau” Dillah memecahkan keheningan itu.
“Apa? Kau?” Adi seperti tak percaya
“Iya. He…Janganlah kau meremehkan kakakmu ini.”
“Wah, ini baru kemajuan. Memangnya kau punya mimpi apa?”
“Saat ini aku sedang menyusun kamus bergambar buat anak-anak. Lima seri.”
“Inggris atau Indonesia?”
“Inggris. Aku suka anak-anak, pendidikan. Aku ingin menyumbangkan pikiranku, tapi tetap aku ingin mendapatkan sesuatu”
“Di jual maksudmu?”
“ Iya. Kau tahu lah gaji guru honor tak seberapa. Terlebih istriku sedang hamil, aku butuh biaya banyak. Dan aku berniat keras bukuku itu harus tercetak sebelum anakku lahir”
Adi terdiam setelah mendengarnya, ia tak menyangka dengan jalan pikiran kakaknya yang maju. Diam-diam dalam hatinya Adi kagum.
“Lantas apa yang sudah kau lakukan untuk mewujudkan mimpimu?”
“Tinggal seri ke lima yang harus aku selesaikan. Dan aku sudah mendapatkan tiga alamat penerbit. Rencananya aku mau ke sana minggu depan” Dillah menunjukan kartu nama para penerbit itu dari dompetnya. Adi melihatnya, lantas tersenyum.
“baguslah kalau kau sudah tahu harus kemana” timpalnya.
Dillah kemudian mengajak Adi melihat disain bukunya di komputer. Mereka pun beranjak ke dalam rumah.
***
“Aku pergi ya mak…”Adi mencium telapak tangan Ibunya.
“Ya. Pintar-pintar bawa diri ya” pesan Ibunya sambil mengelus rambut Adi.
Sejatinya Adi sudah tidak nyaman lagi dengan perlakuan Ibunya itu, yang bagi Adi hanya cocok buat anak sekolah. Tapi demi menyenangkan orang tuanya Adi tidak protes. Adi merasa, dua hari tinggal di rumah berjauhan dengan aktifitas seninya sudahlah cukup membuatnya tersiksa. Tidak produktif; ungkapan yang biasanya digunakan olehnya.Ia pun bergegas menyalakan mesin Vespa birunya dan pergi meninggalkan rumah.
Sepanjang jalan, percakapan dengan Dillah tempo hari terus terngiang-ngiang. Ada keinginan Adi untuk membantu proses pencetakan kamus kakaknya. Mendadak ia teringat pengalaman pahit kawannya yang ditipu oleh pihak penerbit. Waktu itu pihak penerbit mengaku hanya mencetak buku cerpen kawannya sebanyak 2000 kopi dan didistribusikan di toko-toko buku besar. Tapi ternyata kawannya menemukan buku cerpennya beredar bebas di Kwitang Senen. Kualitas buku itu sendiri sangat sempurna, mulai dari berat kertas, tata letak, cover dan hal lainnya. Tentu saja kawan Adi itu penasaran dan mencoba memastikan angka cetak sebenarnya ke pihak penerbit.
Seperti yang sudah diduga, pihak penerbit menyangkal adanya pencetakan ulang tanpa sepengetahuan penulis, terlebih cara pembayarannya royalti.
“Aku harus membantunya” Adi tersadar dari lamunan.
***
Dua bulan sudah berlalu sejak percakapannya dengan Dillah, Adi sudah kembali membenam kan diri dalam produksi pementasan teater komunitasnya. Malam itu, tiga minggu sebelum pementasan, ia tengah berlatih di aula IAIN sampai dini hari. Setengah jam menyambut adzan subuh, ia baru sampai di sekretariat. Ia masuk dan menyalakan lampu. Didapatinya kawannya yang penyair sudah tergeletak tidur pulas. Adi merasa sangat lelah, ia segera mengganti pakaiannya yang basah oleh keringat.
Baru saja ia hendak mengambil air minum, telepon genggamnya berbunyi.
“ Siapa lagi malam begini nelpon” batin Adi lantas mengambil telepon genggam itu di kamar dan melihat nomor penelpon di layarnya. Ternyata nomor Tania, adik perempuannya, lantas ia mengangkatnya.
“Halo…” Adi menyapa lebih dulu
“Ka Adi, pulang” ucap Tania sambil terisak
“Ada apa?”
“Ka Dillah meninggal”
“Ha!!??”
“Cepat ya ka”
“I..i..iya..”
Saat itu, benak Adi dipepati potongan-potongan gambar kakaknya. Tak ingin tenggelam dalam suasana melankolis, ia pun bergegas menyiapkan diri berangkat pulang. Sepanjang jalan, di atas Vespa, ia sangat menyesali dirinya, yang terlalu bodoh telah melupakan niat membantu kakaknya itu.
Sesampainya di rumah, ia sudah mendapati kerumunan sanak keluarga dan tetangganya. Ritual pengajianpun sudah berjalan. Di ruang tamu, ia mendapatkan tubuh kaku kakaknya terbujur di tutupi kain. Ia bersimpuh di depan mayat kakaknya dan membuka kain penutup muka, dipandanginya dengan lekat wajah pasi itu, lantas Adi mencium keningnya.
***
- Radang Paru-paru – itulah yang didiagnosa dokter yang menjadi penyebab kematian Dillah. Bagi Adi, yang memberatkan bukanlah kematian Dillah, melainkan istri dan calon anaknya, serta mimpi kakak ke tiganya itu yang ternyata belum terwujud. Tiga hari berkabung, adi menerima kenyataan yang lebih berat baginya.
“Ka, sebelum meninggal, Ka Ade menitipkan ini pada kakak” ucap Titi, istri Dillah dengan terisak menyerahkan manuskrip kamus seri ke lima yang baru saja rampung. Adi menerimanya dengan tangan berat. Saat Adi melihat cover manuskrip buku itu, ia sangat terkejut, namanya tertera sebagai penyusun di samping nama Dillah.
“Apa maksudnya ini Ti?” Adi bingung, merasa ia tidak pernah terlibat dalam penyusunan kamus itu.
“Ka Adi sudah dianggap guru oleh ka Ade, ia sangat mengagumi Ka Adi. Ia ingin Ka Adi meneruskan pekerjaannya ini”
Mendengar itu, Adi seperti dihantam seribu bogam. Ia menutup mata dan merembeslah air matanya. Seolah semua kata bersembunyi dari lidah, Adi hanya mampu menggeretakkan giginya.
“Aku akan lihat, apa yang bisa aku lakukan” Kalimat itu keluar sesudah ia mengerahkan tenaga untuk berdiri.
***
Menangisnya Adi di tepi jembatan malam itu, adalah buah dari kematian ke dua yang di temuinya. Anak Dillah yang baru dua hari menghirup napas, nyawanya harus tercerabut demam tinggi. Awalnya ia meneruskan pekerjaan kakaknya itu untuk anaknya, kini ia tak tahu, untuk siapa ia mewujudkan mimpi kakaknya.
Vespa birunya telah menjadi penyaksi air mata seorang aktor.



*Puisi WS. Rendra

Penulis anggota KSI dan teater AnonimuS

cerpen Jas Hujan di Musim Panas


cerpen Bayan Sentanu

Riuh tepuk tangan terdengar dari arah penonton, lampu sorot kembali menyala dan sudah Nampak Adi dan Uwo ditengah panggung, menundukan kepala dan merentangkan lengannya sebagai tanda penghormatan. Setelah lima menit menikmati tepukan tangan dan siulan penonton, mereka berdua pergi ke belakang panggung. Uwo menjabat tangan Adi dan memeluknya
“Permainanmu sangat sempurna” tandas Uwo sambil menepuk punggung Adi.
“Kau juga” Adi membalasnya.
Mereka berdua pun masuk ke ruang ganti kostum dan salin pakaian. Tak berapa lama, mereka keluar dan sudah nampak keluarga dan kerabat dekat mereka yang hendak memberi ucapan selamat. Adi dan Uwo menyambangi mereka dan terjadilah percakapan kecil, sesekali terdengar juga suara tawa.
Di sela-sela kegembiraan malam itu, ternyata mata Adi tak bisa diam menelisik diantara orang-orang. Dari gesturnya ia seperti sedang menunggu seseorang, ia nampak resah. Uwo menyadari kegelisahan Adi, ia pun mendekati dan menepuk bahunya.
“Jangan dicari, Tami tidak datang” Uwo mencoba menenangkannya. Nyatalah kekecewaan terpancar dari raut muka Adi.
Sesudah semua penonton pergi meninggalkan gedung teater dan kru panggung membereskan perkakas pentas, Adi permisi pergi ke halaman parkir . di sana, ia membuka pintu depan mobil carry dan menghempaskan diri ke kursi. Ia mengambil handphone dari dalam tas dan menyalakannya, ada beberapa pesan singkat masuk, dan kesemuanya dari teman-temannya yang berisi ucapan selamat atau permintaan maaf karena tidak bisa datang. Sayangnya, tidak ada pesan dari Tami.
Merasa penasaran, ia pun memencet nomor telepon Tami. Awalnya nada sambung terdengar tapi tidak ada yang mengangkat. Usaha kedua hanya dijawab nada sibuk. Helaan napas panjang menyusul setelah ia melemparkan handphone itu ke kursi sampingnya. Untuk kemudian ia merebahkan diri di kursi yang sudah di tarik ke belakang bagian sandarannya.
Satu persatu, potongan-potongan gambar peristiwa dua minggu yang lalu melintas kembali dibenak Adi.
Waktu itu siang menjelang sore, di saat Adi tengah berlatih teater di studio kelompoknya guna pementasan Jas Hujan Di Musim Panas. Dengan mengenakan jas hujan, Adi dan Uwo memilin kalimat-kalimat menjadi dialog, disertai pengaturan gerak. Di saat itulah muncul Tami di pintu masuk. Untuk sesaat kedatangan Tami mengganggu konsentrasi Adi, untungnya Adi segera sadar dan kembali fokus ke latihannya.
Tami sendiri sudah tahu kebiasaan Adi dan kelompoknya, maka ia segera mencari tempat duduk dan menunggu jam istirahat atau sampai latihan usai, baru sesudah itu bisa menemui Adi. setelah satu jam menunggu, akhirnya datang juga jam istirahat. Tami pun mendekati panggung dan menyapa Uwo dan kawan-kawannya. Setelah beberapa waktu berbasa-basi, Tami menarik Adi ke samping panggung dekat jendela.
“Kang, aku ingin bicara, penting. Sekarang!” wajah Tami mendadak serius. Adi mengernyitkan dahi.
“Ada apa? Kau kan tahu aku tak bisa meninggalkan latihan”
Adi mencoba memberikan pengertian lagi. Sejenak Tami tak menjawab, sampai akhirnya
“Tinggalkan panggung!” tandas Tami disertai dengan suara lirih.
Mendengar itu, Adi sangat terkejut. Dan ia segera menyadari sedang menghadapi sebuah persoalan serius. Betapa tidak, baginya panggung adalah impian sejak duduk di SMA, dan ia sudah bekerja keras membangun mimpi itu, dan kini tanpa alasan jelas ia diminta meninggalkan dunianya.
“Sebentar” ucap Adi dan bergegas mendekati Uwo dan mengajaknya berbicara, dengan berbisik, Adi minta pamit untuk meninggalkan latihan karena alasan yang diberikan Tami. Uwo sendiri merasa kaget dan ia langsung memandang tajam Tami. Tami hanya menunduk mendapatkan tatapan Uwo seperti itu. Uwo mengerti dengan kondisi emosi Adi, ia pun menepuk lengan Adi dan menyuruhnya pergi.
Keduanya pergi meninggalkan studio. Dengan berkendara Vespa, mereka menuju rumah Tami. Sepanjang jalan, keduanya berdiam diri. Walaupun begitu, sangat kentara kecamuk batin yang mendera, terlebih Adi sudah dipepati ratusan Tanya.
Sesampainya, Tami langsung masuk rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Adi cepat menyusul dan langsung melempar Tanya.
“Kenapa? Tinggalkan pentas? Kamu gila” adi mencoba menahan emosinya, ia duduk di kursi depan menghadap Tami. Berkali-kali Adi menanyakan alasan Tami hingga ia punya permintaan berat itu. Hanya menunduk yang bisa dilakukan Tami.
“Aku tak suka” Tami memotong omongan Adi. tatapan keduanya bertemu dan benak Adi semakin kisruh mendengar jawaban yang baginya tak jelas itu.
“Bukannya selama ini kau tidak keberatan dengan aktifitasku?”
“Aku suka melihatmu di atas panggung, tapi…”
“Tapi apa? Begini….”
Adi kemudian memaparkan kembali langkah panjang yang telah ia ambil, sampai ia dan kawan-kawannya kini punya studio teater sendiri. selain itu kelompoknya sudah dikenal luas di kalangan seniman. Sejatinya, Tami sudah mengetahui segala apa yang diutarakan Adi. namun ia memilih diam dan mendengarkan.
“Apa alasan sebenarnya?” Tanya Adi sambil tangannya menopang dagu.
“Aku tak suka kalau akang terus memakai jas hujan di musim panas”
“kau ada masalah dengan lakon yang aku akan pentaskan?”
“Cobalah kang mengerti”
Adi bergeming, menatap lekat wajah Tami untuk kemudian menyandarkan diri di kursi dan menerawan ke langit rumah. Ia mencoba menafsirkan ucapan Tami tadi. Kemudian Adi teringat, bahwa lakon yang akan dipentaskan bulan besok, bercerita tentang manusia-manusia pencari jati diri, dengan perilaku yang bagi kebanyakan orang dianggap bodoh dan tidak bermanfaat.
“Jadi maksudmu, apa yang sedang aku lakukan itu sebuah ketololan!?” Adi menghela napas panjang.
“Maaf kang, kita harus realistis. Mumpung kita belum menikah”
Mendengar itu, tiba-tiba Adi tertawa. Tami merasa aneh dengan respon yang diberikan Adi atas ucapannya, meski begitu Tami tidak bertanya. Tawa Adi mereda dan diam. Adi merasakan jalan hidupnya seperti tokoh Vasili Svietlovidoff dalam lakon Nyanyian Angsa. Seorang aktor tua yang hidup sendirian sampai akhir hayatnya.
Sambil menahan pedih, ia berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Mau dengar apa kata Vasilli pada Ivanitch ketika dihadapkan permasalahan seperti ini?” dengan tekanan suara yang berat, ia mengucapkan dialog Vasilli.
“Kau mengerti? Dia dapat mencintai akting. Tetapi, buat mengawininya tidak! Aku sedang berlakon pada suatu ketika. Ya, aku ingat, aku berperan sebagai badut yang tolol. Setelah berlakon aku merasa mataku jadi terbuka karena melihat apa yang pernah kuanggap pemujaan kepada seni begitu suci, sebenarnya adalah khayalan dan impian kosong belaka. Bahwa aku adalah badut yang tolol dan menjadi permainan yang asing dan sia-sia.
Akhirnya aku mengerti tentang penonton. Sejak saat itu aku tak percaya lagi pada tepukan tepukan mereka, atau pada bungkusan bunga mereka atau pada ketertarikan mereka. Ya, Nikituskha!orang memuja aku, membeli gambarku, tetapi aku tetap asing bagi mereka. Mereka memburu-buru supaya dapat bertemu dengan aku tetapi melarang adik perempuan atau putrinya untuk kawin denganku, seorang yang hina dina. Tidak! Aku tak yakin lagi kepada mereka. Tak yakin lagi kepada mereka.”
Mendengar itu, mata Tami dirembesi air. Ia terisak dan meminta maaf pada Adi. adi sendiri sudah tahu bahwa hubungan itu tidak akan bisa dilanjutkan. Kedua-duanya sama keras kepala dan keras hati.
“Datanglah di pementasanku nanti” pinta Adi “Aku akan tetap memakai jas hujan ini disegala musim”.
Dengan hati yang lebam, Adi melangkahkan kakinya keluar rumah, menghidupkan Vespanya dan beranjak pergi. Sementara Tami bergeming, ia merasa bersalah dengan apa yang telah terjadi.
***
Ketukan di pintu mobil mengejutkan Adi. Ia membuka pintu dan didapatinya Uwo dan kawan-kawannya sedang memasukan perkakas pentas. ia pun mendekati dan memberikan bantuan. Setelah selesai, mereka semua masuk mobil dan pergi meninggalkan gedung teater.
-Penonton sudah pulang. Mereka semua sudah tidur dan melupakan si badut tuanya. Tidak seorangpun membutuhkan aku, tak ada yang mencintaiku-

Kamis, 08 Januari 2009

essai teater boneka

Menafsir Angin dan Bebegig
Oleh Lee Birkin*)

Sekelompok angin menghembuskan dirinya. Melewati gedung pencakar langit, melewati pasar, melewati kolong rok perempuan cantik, melewati galian kabel, melewati rumah mewah dan akhirnya menjadi amuk atas laku manusia picik.

Nikmatnya buang angin
Dalam cerpennya yang berjudul Angin Jalan-jalan (AJJ), Aam Amalia mengajak pembaca mengenal ragam karakter manusia. Cerpen AJJ dibangun dengan diksi yang sederhana dan alur cerita yang mengalir, sehingga pembaca dengan mudah bisa menghirup saripatinya. Adalah angin kecil, angin besar, angin penyakit, angin puyuh dan angin topan yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini. Dengan menempatkan penulis sebagai orang ketiga tunggal, Angin-angin itu dijadikan penjelas perantara akan tema utama dalam cerpen ini, yakni laku manusia.
Lewat peristiwa yang terkadang menggelitik, cerita menggelinding dari sudut pandang yang berbeda dalam menilai manusia. Juga lewat hal-hal yang sering dianggap remeh temeh, AJJ memberikan penyadaran akan relasi antara penguasa, rakyat dan alam. Tengok saja, kala angin berhembus di sekitar, tiap manusia berbeda meresponnya. Saat angin berhembus sepoi mengelus kulit para kuli yang tengah melepas lelah, mereka mensyukurinya dengan berkata //terima kasih Tuhan, angin ini enak sekali//. Coba bandingkan dengan penerimaan atas angin oleh orang kaya dengan berkata //Mam, tolong tutup jendelanya, siang bolong begini kok dingin sekali ya//.
Atas dasar angin (udara) sebagai satu elemen dasar di bumi ini, angin acapkali menjadi bagian dari mitos yang berkembang di masyarakat. Di Cina misalnya dalam legenda Avatar, penguasa anginlah yang selalu dinasbihkan menjadi Avatar. Suku Inca memiliki Huracan selaku dewa angin dan badai, begitupula kebudayaan Yunani kuno yang mengenal adanya empat dewa angin (anak dari Eos dan Astreus) yang memungkinkan adanya perubahan musim.
Manusia tidak bisa hidup tanpa udara, itu gampang kita terima. Tetapi seringkali penerimaan dan perlakuan manusia atas udara yang dihirup, berbalas tikaman belati di punggung; tanpa pikir panjang kita mengeruhkan udara lewat polusi dan berujung pemanasan global.
Hanya lewat peristiwa-peristiwa kecilah, Tuhan memberikan penyadaran hidup kepada hambanya. Saat manusia didera susah buang angin, betapa manusia itu berikhtiar sampai rumah sakit termahal untuk menyembuhkannya. Di dalam kesusahan itu, biasanya kesadaran manusia tumbuh atas segala karuniaNya.
Bebegig di ujung jurang
Sepatutnyalah kita menempatkan bebegig memiliki fungsi positif, sebagai pengusir hama. Hanya saja kini konotasi bebegig mengalami rekonstruksi imaji ke arah negatif; menjadi hama itu sendiri. Saat ini bebegig menjadi imaji bagi orang yang berotak kopong, tapi berambisi besar ingin memiliki kedudukan atau menjadi penguasa. Kekuatannya dipakai untuk menakuti orang yang dianggap hama bagi tujuan politiknya. Sebuah ironic friction of social value!!!
Hal di atas kian diperparah dengan belum tuntasnya permasalahan sosial dan ekonomi petani. Sawah-sawah digantikan pabrik, harga pupuk yang mahal, harga jual yang rendah, keengganan anak cucu mengolah sawah sampai rendahnya minat generasi muda untuk menjadi ahli pertanian.
Nilai filosofis yang tertanam pada padi berisi kian merunduk dan bebegig sang pengawal Dewi Sri telah dipersetankan oleh gaya hidup dan status sosial. Semua berlomba memperkaya diri di luar sawah, seolah-olah mereka sudah tidak perlu lagi makan nasi. Semua telah menjadi tikus berkostum bebegig!
Musyawarah Bebegig dan Angin.
Pementasan teater oleh Lab Diksatrasia Untirta yang memunculkan ikon bebegig sebagai tubuh pencerita telah merangsang saya membuat catatan ini. Secara teknis, menyangkut dramaturgi minus konsep panggung, saya hanya bisa berkata bahwa saya lebih nyaman duduk menonton pada saat pementasan mahasiswa semester VII B.
Pertemuan bebegig dan angin di ladang(?) itu seperti ingin menyatakan bahwa kreatifitas bisa dihadirkan lewat beragam imaji, suatu keabsahan kebebasan berpikir. Daya juang hidup berkesenian tidak harus satu warna saja.
Pemilihan imaji bebegig dalam lakon berdurasi lebih kurang 40 menit itu menimbulkan segudang pertanyaan yang melahirkan pernyataan. Dunia buruh dan tani merupakan dunia ‘keras’, tertaut kaum tani dan buruh sudah menjadi simbol kaum perlawanan. Tentunya peristiwa geger Cilegon bisa dijadikan contoh, atau PKI dengan Lekranya.
Kehadiran bebegig dalam pentas itu akan menggigit, apabila bebegig berbicara menyuarakan persoalan tanah, tani. Lebih menggigit lagi jika bebegig itu tidak dijadikan etalase untuk mengejar estetika saja. Ia hadir utuh untuk berbicara dan membicarakan dunianya. Memperkuat simbol perlawanan.
Pendapat bahwa “Bebegig ditransformasi menjadi sekelompok orang yang diposisikan dan memosisikan diri sebagai instrumen efektif untuk menghalau segala hal yang dianggap sebagai ‘hama’,” membuat saya miris, betapa tidak, pendapat itu telah menempatkan bebegig yang tadinya sebagai simbol perjuangan rakyat menjadi bernilai negatif seperti yang saya ungkapkan di atas.
Setiap individu berhak untuk memberi nilai (value) atas simbol-simbol yang ada, tetapi di luar itu ada konvensi bersama di masyarakat, atas makna simbol-simbol tertentu yang mau tidak mau dijadikan milik kita juga. Pertanyaanya, apakah kita yang mengikuti masyarakat, atau masyarakat yang mengikuti kita? Viva le Actuer.


*)Penulis, pekerja teater

Followers